Oleh : Dadang Ari Murtono
Haji Ahmad merutuki perempuan itu. Ia juga mengutuki hari di mana ia bertemu perempuan itu untuk pertama kali dan jatuh cinta kepada si perempuan bertahun-tahun yang lampau. "Betapa setan benar-benar pintar menyarukan neraka menjadi seakan surga," kata Haji Ahmad. Ya, bertahun-tahun yang lampau, Haji Ahmad seakan melihat surga dalam diri perempuan itu. Perempuan yang terlihat begitu cantik dalam balutan jilbab berwarna hijau, pandangan yang begitu teduh seperti teduhnya pohon-pohon di kebun belakang rumah masa kecilnya, dan senyuman sesejuk es setrup di hari-hari panjang musim kemarau yang panasnya minta ampun.
Haji Ahmad keturunan orang baik. Bapak dan ibunya adalah dua orang pertama yang bisa pergi ke Mekkah di kampungnya. Bapaknya menjadi ketua takmir masjid dan ibunya kepala kelompok pengajian ibu-ibu di desanya. Haji Ahmad anak satu-satunya. Dan semenjak usianya lima tahun, ia telah dikirim ke pondok pesantren terkenal di daerah Jombang, Jawa Timur. Banyak orang besar, alim, dan pintar yang merupakan alumni pondok pesantren tersebut. Bapak dan ibunya menaruh harapan besar kepada Haji Ahmad.
"Semoga kau bisa menjadi seperti tokoh-tokoh yang berperan besar dan bermanfaat bagi negara seperti beberapa alumni pondok pesantren itu," demikian dulu bapak dan ibunya berkata setiap kali ia pulang kampung di musim liburan pondok pesantren. Dan ia mengaminkan doa itu. Doa siapa yang lebih ampuh selain doa orangtua?
Namun sayangnya, tidak semua doa mesti terkabul. Tidak semua harapan terwujud menjadi kenyataan. Sepuluh tahun sejak Haji Ahmad kecil berangkat ke pondok pesantren tersebut, beberapa kawannya mendapat beasiswa untuk melanjutkan pendidikan di Mesir dan Arab Saudi, namun Haji Ahmad masih juga berkutat dengan nahwu yang belum juga dikuasainya. Dia juga belum lancar benar membaca kitab kuning dengan hurup-hurup arab pego gundul. Pengasuh pondok pesantren suatu kali berkata kepada bapak dan ibu Haji Ahmad ketika mereka datang menengok ke pondokan, "anak Abah memang tidak secerdas beberapa temannya yang lain, namun bukan berarti anak Abah bodoh."
Setelahnya, bapak dan ibu Haji Ahmad berkata kepada Haji Ahmad, "kalau tidak bisa menjadi orang besar dan bermanfaat bagi negara, paling tidak, kau bisa menjadi orang besar dan
bermanfaat bagi propinsimu."
Namun sekali lagi, doa tidak selalu terkabul sekali pun bapak dan ibu Haji Ahmad terus berdoa agar ia menjadi orang besar dan bermanfaat bagi propinsinya dan Haji Ahmad tak henti mengaminkan doa-doa itu.
Orang-orang tua yang sudah banyak makan asam garam, yang sepertinya lebih dekat dengan Tuhan daripada orang awam seperti kiai pengasuh pondok pesantrennya pada kesempatan yang lain berkata kepada orangtua Haji Ahmad, "jangan terlalu membebani Ahmad dengan harapan-harapan semacam itu. Dia memang tidak bodoh, tapi sepertinya akan sulit baginya menjadi orang besar yang berkiprah di propinsi. Dan harapan-harapan yang terlalu besar kepadanya bisa membuatnya tertekan dan hanya akan menjadikannya tidak berkembang. Semoga dia bisa menjadi orang yang baik dan bisa menjaga dirinya dari dosa, dan kelak, menjadi kepala keluarga yang mampu membimbing keluarganya ke jalan yang benar."
Dan semenjak itulah, bapak dan ibu Haji Ahmad tidak lagi mengatakan sesuatu yang muluk-muluk kepada Haji Ahmad. Pesan si pengasuh pondok pesantren benar-benar mereka pegang, "menjadi kepala keluarga yang baik dan bisa membawa keluarganya ke jalan yang diridhoi Allah itu lebih baik daripada menjadi kepala negara tapi lalim dan mengabaikan kesejahteraan rakyatnya."
Ketika tiba masa bagi Haji Ahmad lulus dari pondok pesantren, orangtuanya berupaya segera menikahkan Haji Ahmad dengan perempuan yang baik, perempuan yang alim, perempuan yang bisa menjadi ibu yang baik dan mau terus dibimbing menuju jalan yang benar yang diridhoi Allah. Tapi ternyata mencarikan jodoh bagi orang seperti Haji Ahmad bukanlah pekerjaan mudah. Beberapa kali mereka mencoba menjodohkan Haji Ahmad dengan putri kenalan mereka, namun ada saja hal yang mengganjal sehingga perjodohan itu tidak bisa diteruskan.
"Ya kalau memang bukan jodohnya, mau apa lagi?" demikian akhirnya mereka mencoba menghibur diri dengan kenyataan yang mereka hadapi.
Hingga pada suatu hari, di sebuah acara semaan alquran, Haji Ahmad bertemu dengan perempuan itu, perempuan berjilbab hijau yang seperti menyimpan surga di dalam dirinya. Dengan bertanya kepada beberapa orang, tahulah Haji Ahmad bahwa perempuan itu sering mengikuti acara semaan alquran. Haji Ahmad merasa bahwa perempuan itu adalah jodohnya. Dan Haji Ahmad semakin kepikiran perempuan itu ketika mendapat lebih banyak informasi. Perempuan itu adalah perempuan yang tak putus dirundung malang. Orangtuanya meninggal karena penyakit panas ketika si perempuan masih berusia sepuluh tahun. Perempuan itu anak tertua dan masih memiliki dua adik lagi. Setelah kematian kedua orangtuanya, si perempuanlah yang bekerja untuk menghidupi dua adiknya.
"Dia bekerja apa saja. Tak tentu. Namun dia selalu rajin mengikuti semaan alquran dan kerap hadir pada acara-acara pengajian. Dia perempuan yang baik dan pasti bisa menjadi istri yang berbakti. Kalau kau menikah dengannya, rumahtanggamu insyaallah sakinah," demikian yang dikatakan salah satu hafidz yang ditemui Haji Ahmad.
Sebulan kemudian, Haji Ahmad menikahi perempuan itu. Waktu itu, Haji Ahmad belum menunaikan ibadah haji. Dan ia tidak memiliki pekerjaan selain sholat, membaca alquran, mengikuti pengajian, tahlilan, dan hal-hal semacam itu. Kebun dan sawah orangtuanya cukup luas dan dikelola dengan baik oleh orangtuanya sehingga hasilnya lebih dari cukup untuk menunjang kehidupan Haji Ahmad dan istrinya. Perempuan itu, setelah resmi menjadi istrinya, juga tidak tampak lagi bekerja serabutan seperti dulu. Adik-adik perempuan itu juga bisa meneruskan sekolahnya dengan biaya dari orangtua Haji Ahmad. Namun meski pun sudah menjadi istri Haji Ahmad, perempuan itu tetap saja tidak menceritakan secara detail pekerjaan apa yang dulu dilakukan si perempuan. "Pokoknya serabutan," begitu si perempuan senantiasa menjawab.
Kehidupan pernikahan mereka sepertinya baik-baik saja sekali pun mereka belum dikaruniai anak. Ketika usia pernikahan mereka menginjak lima tahun, kedua orangtua Haji Ahmad meninggal karena kecelakaan lalu lintas dalam perjalanan untuk menghadiri sebuah pengajian di kota kecamatan. Sesaat sebelum meninggal, di rumah sakit, bapak Haji Ahmad berpesan agar kalau punya rejeki berlebih, Haji Ahmad segera menunaikan ibadah haji. Haji Ahmad menganggap pesan bapaknya sebagai wasiat yang harus segera dilaksanakan. Namun tentu saja itu hal yang sulit karena selama ini ia tidak bekerja selain beribadah. Haji Ahmad juga tidak tahu bagaimana caranya bertani sekali pun orangtuanya mewarisinya sawah dan kebun yang cukup luas. Untunglah, adik-adik istrinya sudah selesai sekolah dan telah pula sanggup bekerja di kota propinsi hingga tak lagi membebani Haji Ahmad.
Pesan bapaknya untuk segera menunaikan ibadah haji terus mengiang di telinga Haji Ahmad, membuatnya tidak tenang. Hingga pada tahlilan empatpuluh hari meninggalnya orangtuanya, Haji Ahmad mendapat ide cemerlang, "aku akan menjual sawah dan kebun itu dan hasil penjualannya akan kugunakan untuk pergi haji."
Istrinya keberatan dengan hal itu. Namun Haji Ahmad berkata, "toh, aku juga tidak memiliki kemampuan bertani. Dan jangan khawatir tentang kehidupan kita setelahnya. Allah tidak akan membiarkan hamba-Nya kelaparan, apalagi hamba yang seluruh waktunya dihabiskan untuk memuji dan beribadah kepada-Nya. Rejeki akan datang dengan cara yang tidak disangka-sangka."
Haji Ahmad kemudian memang pergi menunaikan ibadah haji. Tidak ada lagi sisa penjualan sawah dan ladang itu. Dan sepulangnya dari tanah suci, Haji Ahmad semakin giat beribadah. Jauh lebih giat dari sebelumnya. Dan pada waktu itulah, orang-orang mulai sering melihat istri Haji Ahmad keluar rumah. Ketika ada yang bertanya, perempuan itu menjawab, "pergi bekerja." Dan tetap tak ada yang tahu apa pekerjaan perempuan itu.
Haji Ahmad sepertinya juga tidak perduli dengan pekerjaan istrinya. Ia benar-benar ahli ibadah yang baik. Dan ia memang berkonstrasi penuh ke sana. Istrinya memang bekerja untuk menunjang kehidupan mereka, namun Haji Ahmad yakin rejeki yang didapat istrinya itu adalah juga karena ibadahnya yang tak putus-putus. Allah memang selalu mendatangkan rejeki dari arah yang tidak disangka-sangka, bukan?
Hingga semua berubah pada suatu hari. Seorang lelaki perlente memarkir mobilnya di depan rumah Haji Ahmad. Lelaki itu turun dari mobil, mengetuk pintu rumah Haji Ahmad dan mengganggu Haji Ahmad yang tengah mendaras alquran. Istri Haji Ahmad gering sudah tiga hari terakhir ini dan hanya bisa terbaring di atas dipan.
"Benarkah ini rumah Siti?" lelaki itu bertanya. Haji Ahmad mengiyakan, mempersilakan lelaki itu masuk. Dan bertanya bagaimana si lelaki kenal dengan istrinya.
"Sudah tiga hari Siti tidak terlihat di komplek. Setiap siang saya datang ke komplek karena saya tahu Siti hanya siang hari saja di sana. Saya pelanggan tetapnya. Saya sebenarnya mencintainya. Namun dia selalu menolak lamaran saya. Padahal maksud saya baik, ingin mengentasnya dari dunia pelacuran. Saya kira, dia menolak karena tidak mau menjadi istri simpanan saya. Oya, apakah saudara ini kakaknya? Siti pernah cerita kalau dia tinggal dengan kakaknya yang menderita suatu penyakit sehingga tidak memungkinkan untuk bekerja."
Untuk beberapa saat, Haji Ahmad tertegun, tak mampu bicara sepatah kata pun. Namun begitu dia bisa menguasai dirinya, dengan berang yang luarbiasa, dengan suara menggelegar, Haji Ahmad
mengusir lelaki itu.
Dari kamar, istrinya mendengar kejadian itu. Ia menangis. Namun tangisan itu tak cukup menghadirkan rasa belas pada diri Haji Ahmad. Malah, marahnya semakin menjadi-jadi. Dan dengan kalap, Haji Ahmad memukul dan menampar istrinya.
"Kau perempuan laknat! Kau kerak neraka! Kau pelacur sial! Allah akan menyiksamu dengan adzab yang tak terkira pedihnya! Allah membencimu dan tak ada tempat untukmu di rumah ini. Allah akan menempatkanmu di neraka selama-lamanya!" rutuk Haji Ahmad.
Makian dan cercaan seperti tak habis-habisnya. Haji Ahmad dengan menggunakan dalil-dalil, hadits-hadits, dan ayat suci-ayat suci, terus saja meneriaki dan menakuti istrinya. Sampai istrinya bertanya lirih, "benarkah Tuhan seperti yang kau sangka?".
Padahal orang yang bertobat dari maksiat itu sama saja bayi yang baru lahir dihadapan Allah SWT. dan tidak jarang hati seorang alim pun lebih kotor dari pelacur karena merasa diri paling hebat dan paling berilmu. ada kisah dari hadist Rasulullah saw bahwa pelacur bisa masuk surga karena kebaikan akhlaqnya dan ahli ilmu masuk neraka karena kesombongan dan hanya mengharapkan pujian orang.
Nasehat Yang Tersirat dari Kisah Ini :
- Dunia Memang ladang ujian dan cobaan barangsiapa bersabar dan mampu menerima kenyataan, dan pasrahkan kepada Allah SWT maka ia akan memperoleh kehidupan yang lebih baik di akhirat kelak.
- Jodoh sudah diatur Allah SWT, tidak akan tertukar, jika jodoh kita berakhlaq buruk maka itu cermin dari kekotoran hati yang tidak terlihat oleh diri sendiri. maka jangan salahkan istrimu, apalagi Takdir Tuhanmu salahkan dirimu, apakah hatimu sudah bersih untuk mendapatkan seorang jodoh yang sempurna? apakah akalmu cukup sehat untuk mendapatkan jodoh yang bersikap dewasa? Apakah akhlaqmu sudah sempurna untuk mendapat jodoh yang begitu sempurna pula?
- Orang yang bertobat dari maksiat sama dengan orang yang baru masuk islam seperti bayi yang baru lahir. jadi jangan seenaknya menjustice (memvonis) seseorang karena Takdir Allah belum tentu seperti yang kau kira, bisa jadi ahli maksiat mati khusnul khotimah dan ahli ibadah malah mati buruk. semua itu adalah sebab tersembunyi dari penyakit hati manusia.
- Allah SWT maha penerima Taubat, mumpung hembusan nafas masih dirongga dada jangan menunda berhenti dari maksiat sebelum ajal memutuskan kita dari pintu taubat.
-Harga diri seorang laki-laki adalah bekerja, kemudian bekerja adalah sebagian ibadah yang tidak boleh ditinggalkan demi kelangsungan hidup didunia, oleh karena itu sejak kecil kita harus belajar bekerja untuk bekal dihari tua dan tidak melupakan ilmu agama untuk bekal akhirat. ilmu dunia dan akhirat tidak boleh ditinggalkan atau akan pincang kehidupan kita. Memang menyeimbangkan keduanya sulit terkadang waktu bekerja menyita waktu ibadah dan sebaliknya. tetapi mudah bagi orang yang sabar dan takwa. Coba saja haji ahmad dalam kisah yang diatas adalah orang yang tekun bekerja sehingga kebutuhan keluarganya tercukupi dan tidak hanya beribadah saja, mestinya istrinya tidak akan kembali pergi lagi untuk "bekerja" dijalan yang salah.
- Sebagai kepala keluarga tidak boleh acuh tak acuh terhadap keaadaan anggota keluarga.
-
Rerefensi : Koran Suara Merdeka
Nasehat Oleh : www.Ashabul-Muslimin.tk
0 komentar:
Posting Komentar
silahkan komentarnya jika ada link mati harap lapor. jazakumullah