MUQODDIMAH
Segala puji bagi Alloh Ta'ala yang telah melimpahkan rahmat dan karunia-Nya,
dan yang telah mengutus Nabi-Nya صلى الله عليه وسلم dengan al-Qur'an dan sunnahnya, sehingga
tegaklah Islam ini dengan berbagai pokok dan landasan serta kaidah-kaidah dalam
segala aspeknya.
Sungguh merupakan ciri khas agama Islam yang sempurna ini di antaranya, Islam
menjelaskan segala apa yang berkaitan dengan manusia, baik dalam masalah ibadah
ataupun mu'amalah/ kehidupan sehari-hari. Maka apa yang dikatakan sebagian
manusia bahwa Islam ini hanya mengurusi masalah akhirat saja adalah satu
syubhat yang sangat lemah dan telah dibantah oleh Alloh dalam al-Qur'an-Nya.
Salah satu buktinya, satu ayat yang paling panjang dalam al-Qur'an ternyata
membahas masalah hutang piutang di antara manusia
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ إِذَا تَدَايَنتُم بِدَيْنٍ إِلَى أَجَلٍ مُّسَمًّى فَاكْتُبُوهُ وَلْيَكْتُب بَّيْنَكُمْ كَاتِبٌ بِالْعَدْلِ وَلاَ يَأْبَ كَاتِبٌ أَنْ يَكْتُبَ كَمَا عَلَّمَهُ اللّهُ فَلْيَكْتُبْ وَلْيُمْلِلِ الَّذِي عَلَيْهِ الْحَقُّ وَلْيَتَّقِ اللّهَ رَبَّهُ وَلاَ يَبْخَسْ مِنْهُ شَيْئاً فَإن كَانَ الَّذِي عَلَيْهِ الْحَقُّ سَفِيهاً أَوْ ضَعِيفاً أَوْ لاَ يَسْتَطِيعُ أَن يُمِلَّ هُوَ فَلْيُمْلِلْ وَلِيُّهُ بِالْعَدْلِ وَاسْتَشْهِدُواْ شَهِيدَيْنِ من رِّجَالِكُمْ فَإِن لَّمْ يَكُونَا رَجُلَيْنِ فَرَجُلٌ وَامْرَأَتَانِ مِمَّن تَرْضَوْنَ مِنَ الشُّهَدَاء أَن تَضِلَّ إْحْدَاهُمَا فَتُذَكِّرَ إِحْدَاهُمَا الأُخْرَى وَلاَ يَأْبَ الشُّهَدَاء إِذَا مَا دُعُواْ وَلاَ تَسْأَمُوْاْ أَن تَكْتُبُوْهُ صَغِيراً أَو كَبِيراً إِلَى أَجَلِهِ ذَلِكُمْ أَقْسَطُ عِندَ اللّهِ وَأَقْومُ لِلشَّهَادَةِ وَأَدْنَى أَلاَّ تَرْتَابُواْ إِلاَّ أَن تَكُونَ تِجَارَةً حَاضِرَةً تُدِيرُونَهَا بَيْنَكُمْ فَلَيْسَ عَلَيْكُمْ جُنَاحٌ أَلاَّ تَكْتُبُوهَا وَأَشْهِدُوْاْ إِذَا تَبَايَعْتُمْ وَلاَ يُضَآرَّ كَاتِبٌ وَلاَ شَهِيدٌ وَإِن تَفْعَلُواْ فَإِنَّهُ فُسُوقٌ بِكُمْ وَاتَّقُواْ اللّهَ وَيُعَلِّمُكُمُ اللّهُ وَاللّهُ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمٌ
Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu'amalah tidak secara tunai
untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya. Dan hendaklah
seorang penulis di antara kamu menuliskannya dengan benar. Dan janganlah
penulis enggan menuliskannya sebagaimana Allah mengajarkannya, meka hendaklah
ia menulis, dan hendaklah orang yang berhutang itu mengimlakkan (apa yang akan
ditulis itu), dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya, dan janganlah ia
mengurangi sedikitpun daripada hutangnya. Jika yang berhutang itu orang yang
lemah akalnya atau lemah (keadaannya) atau dia sendiri tidak mampu
mengimlakkan, maka hendaklah walinya mengimlakkan dengan jujur. Dan
persaksikanlah dengan dua orang saksi dari orang-orang lelaki (di antaramu).
Jika tak ada dua oang lelaki, maka (boleh) seorang lelaki dan dua orang
perempuan dari saksi-saksi yang kamu ridhai, supaya jika seorang lupa maka yang
seorang mengingatkannya. Janganlah saksi-saksi itu enggan (memberi keterangan)
apabila mereka dipanggil. dan janganlah kamu jemu menulis hutang itu, baik
kecil maupun besar sampai batas waktu membayarnya. Yang demikian itu, lebih
adil di sisi Allah dan lebih menguatkan persaksian dan lebih dekat kepada tidak
(menimbulkan) keraguanmu. (Tulislah mu'amalahmu itu), kecuali jika mu'amalah
itu perdagangan tunai yang kamu jalankan di antara kamu, maka tidak ada dosa
bagi kamu, (jika) kamu tidak menulisnya. Dan persaksikanlah apabila kamu
berjual beli. dan janganlah penulis dan saksi saling sulit menyulitkan. Jika
kamu lakukan (yang demikian), maka sesungguhnya hal itu adalah suatu kefasikan
pada dirimu. Dan bertakwalah kepada Allah. Allah mengajarmu. dan Allah Maha
Mengetahui segala sesuatu. (QS. Al-Baqarah[2]: 282)
Ini
merupakan bukti bahwa Islam adalah agama yang paling sempurna dibanding
agama-agama yang lainnya. Maka dari sanalah di ambil berbagai hukum dan
ketentuan yang pasti akan sesuai pada setiap zaman dan setiap tempat, sampai
masalah-masalah baru yang tidak pernah terjadi pada zaman Rasulullah pun
sebenarnya bisa digali hukumnya dari nash-nash yang telah ada, sehingga tidak
ada perkataan bahwa hukum-hukum Islam itu kaku/kolot dan tidak sesuai dengan zaman.
Maka bagi seorang yang menginginkan kebenaran dalam mengurusi kehidupan
sehari-harinya, hendaknya mempelajari kembali dan memahami dengan benar
al-Qur'an dan as-Sunnah untuk diterapkan dalam kehidupan sehari-harinya,
terutama masalah-masalah mu'amalah baru (bukan ibadah) yang belum pernah
terjadi pada zaman Rasulullah صلى الله عليه وسلم dan para sahabatnya, yang membutuhkan pemikiran dan
penerapan dalil serta penggalian perkataan dan pendapat para ulama untuk
diterapkan dalam masalah tersebut.
Sehubungan banyaknya pertanyaan yang berkaitan dengan fiqh mu'amalah (seperti
jual beli, pegadaian, sewa-menyewa, wasiat, dan lainnya), maka pada edisi kali
ini sebelum kami menjelaskan permasalahan-permasalahan yang rinci tentang fiqh
mu'amalah, baik dan perlu diketahui beberapa kaidah penting sebelum kita
melakukan satu transaksi seperti yang kita sebutkan dalam contoh di atas.
Kaidah-kaidah ini amatlah penting sebagai tolok ukur sah dan tidaknya suatu
transaksi mu'amalah dalam kehidupan manusia sehari-hari, sehingga mudah bagi
kita menerapkan kaidah ini pada transaksi apa saja terutama masalah-masalah
baru yang tidak ada nash dalil dari al-Qur'an dan as-Sunnah. Di antara
kaidah-kaidah itu: Kaidah-kaidah yang kami sebutkan ini sebagian
besar dinukil dari al-Hawafiz at-Tijariyah at-Taswiqiyah wa Ahkamuha fil Fiqh
al-Islami oleh DR Khalid bin Abdullah al-Mushlih, dan kami tambahkan beberapa
keterangannya dari al-Qawaid al-Fiqhiyah oleh Syaikh Ibnu Utsaimin dan
Syarahnya oleh DR. Sami ash-Shuqair (masih dalam manuskrip), dan juga kami
tambahkan beberapa keterangan dan kitab Taisirul Allam dan Taudhihul Ahkam oleh
Syaikh al-Bassam.
1. ASAL HUKUM MUAMALAH ADALAH HALAL DAN DIBOLEHKAN
Asal hukum mu'amalah seperti jual beli, sewa-menyewa, gadai, dan lain
sebagainya. adalah halal dan dibolehkan sebagaimana asal hukum segala sesuatu
yang ada di bumi itu halal dan dibolehkan kecuali ada dalil yang melarangnya.
Ini adalah pendapat jumhur ulama, madzhab Maliki, madzhab Syafi'i, madzhab
Hanbali, dan sebagian besar ulama madzhab Hanafi, bahkan Ibnu Rajab رحمه الله mengatakan, "Sebagaian ulama mengatakan
ini adalah kesepakatan para ulama."1
Dalil Kaidah
a. Dalil Umum, firman Alloh Ta'ala:
هُوَ الَّذِي خَلَقَ لَكُم مَّا فِي الأَرْضِ جَمِيعاً
Dialah (Alloh) yang menciptakan semua apa yang ada di muka bumi ini untuk
kalian. (QS. al-Baqarah: 29)
b. Dalil Khusus, seperti firman Alloh Ta'ala:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ أَوْفُواْ بِالْعُقُودِ
Wahai orang-orang yang beriman, penuhilah akad-akad itu. (QS. al-Ma'idah: 1)
Ayat ini mencakup semua akad perjanjian, baik itu perjanjian manusia kepada
Alloh atau sesama makhluknya. Alloh memerintahkan supaya manusia memenuhi
akad-akad itu semuanya, dan ini menunjukkan bahwa pada asalnya hukum mu'amalah
adalah boleh dan halal, seandainya akad-akad itu hukumnya haram, pasti Alloh
tidak akan memerintahkan manusia untuk memenuhinya.
Juga firman Alloh عزّوجلّ yang lain:
وَأَحَلَّ اللّهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبَا
Dan Alloh menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. (QS. al-Baqarah: 275)
Dalam ayat ini Alloh menghalalkan berbagai macam jual beli dan perdagangan
karena di dalamnya ada maslahat manusia secara umum dan mengharamkan riba
karena di dalamnya terdapat kezhaliman, dan makan harta orang lain dengan cara
batil. Ini menunjukkan bahwa asal hukum dalam mu'amalah halal dan dibolehkan
selagi tidak ada di dalamnya kezhaliman dan makan harta orang lain dengan cara
batil.2
Dan masih banyak lagi dalil-dalil dari al-Qur'an yang semakna dengan di atas
sebagaimana pula hadits-hadits Nabi صلى الله عليه وسلم yang menjelaskan bahwa segala sesuatu yang
tidak disebutkan halal dan haramnya maka hal itu termasuk halal dan dibolehkan.
Adil dan zhalim adalah dua kata yang saling bertolak belakang. Oleh karena
itulah, Alloh memerintahkan berbuat adil dan mengharamkan perbuatan zhalim.
Alloh عزّوجلّ berfirman dalam perintah-Nya berbuat adil:
اعْدِلُواْ هُوَ أَقْرَبُ لِلتَّقْوَى
Berbuatlah adil kalian, karena adil itu lebih dekat kepada taqwa. (QS.
al-Ma'idah: 8)
Dalam satu hadits qudsi, Alloh عزّوجلّ berfirman:
يَا عِبَادِي إِنِّي حَرَّمْتُ الظُّلْمَ عَلَى نَفْسِي وَجَعَلْتُهُ بَيْنَكُمْ مُحَرَّمًا
Wahai hamba-Ku, sesungguhnya Aku haramkan kezhaliman atas diri-Ku dan Aku
jadikan kezhaliman itu haram di antara kalian. (HR. Muslim 2577 dari riwayat
Abu Dzar رضي الله عنه)
Telah kita maklumi bersama, zhalim adalah perbuatan yang tercela. Bahkan semua
agama dan syari'at yang ada di muka bumi pun mengharamkan perbuatan zhalim dan
menyeru berlaku adil, sebagaimana Alloh berfirman:
لَقَدْ أَرْسَلْنَا رُسُلَنَا بِالْبَيِّنَاتِ وَأَنزَلْنَا مَعَهُمُ الْكِتَابَ وَالْمِيزَانَ لِيَقُومَ النَّاسُ بِالْقِسْطِ
Sesungguhnya Kami telah mengutus para rasul Kami dengan membawa bukti-bukti
yang nyata dan telah Kami turunkan bersama mereka al-Kitab dan timbangan (keadilan)
supaya manusia dapat menegakkan keadilan. (QS. al-Hadid: 25)
Dan tatkala di dalam perdagangan, jual beli, dan lainnya terdapat pintu-pintu
yang terbuka lebar untuk masuknya perbuatan zhalim, maka keharaman berbuat
zhalim dan kewajiban berlaku adil adalah termasuk tujuan pokok ditegakkan
syari'at Islam ini.1 Banyak sekali kita jumpai dalil-dalil baik itu dalam
al-Qur'an atau as-Sunnah yang memerintahkan manusia berbuat adil dan melarang
berbuat zhalim serta keharaman makan harta manusia dengan cara yang batil,
seperti firman-Nya:
وَلاَ تَأْكُلُواْ أَمْوَالَكُم بَيْنَكُم بِالْبَاطِلِ
Janganlah kalian makan harta sebagian kalian dengan jalan yang batil. (QS.
al-Baqarah: 188)
Maka dari dalil-dalil di atas, jelaslah bagi kita bahwa kezhaliman itu haram
hukumnya dan berlaku adil itu wajib dalam segala bentuk mu'amalah baik itu
perdagangan, jual beli, gadai, hutang piutang, dan lain-lainnya.
4. TIDAK ADA UNSUR RIBA DALAM TRANSAKSI
Riba menurut istilah fuqaha terbagi menjadi dua bagian:
a. Riba jahiliyah/al-qardh; jenis ini kita kenal dengan riba bunga, renten,
atau bunga hutang dan yang sejenisnya.
b. Riba jual beli; jenis riba ini tebagi menjadi dua macam yaitu riba al-fadhl
dan riba nasi'ah. Jenis riba yang ini jarang diketahui kebanyakan manusia,
khususnya para pedagang di negeri kita. Riba ini insya Alloh akan kita jelaskan
dalam kesempatan yang lain.
Dua jenis riba di atas telah diharamkan dalam al-Qur'an dan hadits-hadits yang
shahih, serta dengan kesepakatan para ulama. Alloh عزّوجلّ berfirman:
وَأَحَلَّ اللّهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبَا
Dan Alloh menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. (QS. al-Baqarah: 275)
Dan Nabi kita صلى الله عليه وسلم, telah melarang praktek riba ini dengan dengan ancaman
laknatnya kepada para pelaku riba. Sabdanya:
عَنْ جَابِرٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ: لَعَنَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ آكِلَ الرِّبَا وَمُوكِلَهُ وَكَاتِبَهُ وَشَاهِدَيْهِ
Dari Jabir رضي الله عنه ia berkata, "Rasulullah صلى الله عليه وسلم melaknat orang yang makan riba, orang yang
memberi makan dengan hasil riba, penulisnya, dan kedua saksinya." (HR.
Bukhari 2086 dan Muslim 1598 dalam kitab al-Musaqat)
5. TIDAK ADA UNSUR JUDI/ TARUHAN/MENGUNDI NASIB
Imam Mawardi رحمه الله dalam kitabnya al-Hawi al-Kabir (19/225) mengatakan
bahwa yang dimaksud perjudian di sini ialah apabila seorang melakukan transaksi
yang dia tidak lepas antara untung dan rugi.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah رحمه الله dalam kitabnya Majmu' Fatawa (32/237) mengatakan,
"Maka jelaslah bahwa perjudian mengandung dua mafsadat/kerusakan. (Yang
pertama) mafsadat dalam harta itu sendiri yaitu salah satu pihak yang untung
akan mengambil harta orang lain dengan cara batil. (Yang kedua) mafsadat dalam
perbuatan tersebut, di antaranya kerusakan harta itu sendiri, kerusakan hati
dan akal pelakunya, kerusakan hubungan antara sesama, dan masing-masing
kerusakan tersebut telah dilarang dengan larangan yang tersendiri."
Maka dari definisi yang telah disebutkan di atas bisa kita ambil satu contoh;
seandainya ada seseorang menyewa sebuah rumah dengan akad kontrak perbulannya
dia akan membayar ongkos sewa rumah dengan separuh penghasilannya, maka ini
termasuk perjudian karena masing-masing pelaku transaksi ini tidak lepas dari
dua hal yaitu untung atau rugi,1 lantaran tidak dapat dipastikan berapa
penghasilan penyewa rumah tersebut setiap bulannya.
Keharaman perjudian ini telah ditegaskan oleh Alloh Ta'ala dalam firman-Nya:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ إِنَّمَا الْخَمْرُ وَالْمَيْسِرُ وَالأَنصَابُ وَالأَزْلاَمُ رِجْسٌ مِّنْ عَمَلِ الشَّيْطَانِ فَاجْتَنِبُوهُ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ. إِنَّمَا يُرِيدُ الشَّيْطَانُ أَن يُوقِعَ بَيْنَكُمُ الْعَدَاوَةَ وَالْبَغْضَاء فِي الْخَمْرِ وَالْمَيْسِرِ وَيَصُدَّكُمْ عَن ذِكْرِ اللّهِ وَعَنِ الصَّلاَةِ فَهَلْ أَنتُم مُّنتَهُونَ
Wahai orang-orang yang beriman, sesungguhnya minuman keras, perjudian,
(berkorban untuk) berhala, dan mengundi nasib dengan anak panah adalah
perbuatan keji termasuk perbuatan setan, maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu
agar kamu mendapatkan keberuntungan. Sesungguhnya setan itu bermaksud
menimbulkan permusuhan dan kebencian di antara kalian lantaran minum minuman
keras dan berjudi, serta menghalangi kamu dari ingat Alloh dan menegakkan
shalat, maka kenapa kalian tidak menghentikan (perbuatan tersebut)? (QS.
al-Ma'idah: 90-91)
Dua ayat tersebut di atas menunjukkan dengan jelas haramnya perjudian karena
Alloh menyatakan itu adalah perbuatan keji termasuk perbuatan setan, dan
perintah supaya dijauhi. Kemudian Dia menjelaskan, perbuatan tersebut
menyebabkan timbulnya permusuhan, kebencian, mencegah dari mengingatAlloh, dan
menghalangi shalat, lantas menguatkan larangan-Nya dengan perintah supaya
menghentikan perbuatan itu. Hal ini menunjukkan keharaman perbuatan tersebut
dengan jelas dan tidak ada keraguan di dalamnya.
Dalam satu hadits, Rasulullah صلى الله عليه وسلم mengatakan:
مَنْ قَالَ لِصَاحِبِهِ تَعَالَ أُقَامِرْكَ فَلْيَتَصَدَّقْ
Barangsiapa berkata kepada kawannya, "Marilah ke sini, aku bermain judi
denganmu", maka (kafarahnya adalah) hendaknya ia bersedekah. (HR. Bukhari,
kitab at-Tafsir 4860)
Dalam hadits ini, Nabi صلى الله عليه وسلم mengharuskan orang yang sekedar mengajak berjudi untuk
membayar kafarah berupa sedekah, maka ini menunjukkan bahwa judi jelas-jelas
haram.
Dari dalil-dalil di atas dapat kita simpulkan bahwa perjudian adalah semua
bentuk transaksi yang pelakunya tidak lepas dari untung atau rugi disebabkan
oleh ketidakjelasan dan mengundi nasib dan menimbulkan permusuhan serta
kebencian sesama manusia.2
6. IJAB QABUL DALAM TRANSAKSI TIDAK HARUS DENGAN LAFAZH TERTENTU
Sebagian fuqaha mensyaratkan sahnya suatu transaksi harus disertai ungkapan
berupa ijab dari pihak pertama, dan qabul dari pihak kedua. Sebagai contoh,
mereka mengharuskan bahwa jual beli tidak sah kecuali si penjual mengatakan
(ijab) "Aku jual barang ini" dan pembeli menjawab (qabul) "Aku
beli barang ini". Maka suatu transaksi jual beli tidak sah kecuali harus
disertai dengan ijab dan qabul seperti ini (atau semisalnya).
Akan tetapi, pendapat yang benar adalah yang menyatakan bahwa ijab dan qabul
tidak harus dengan lafazh/kalimat-kalimat tertentu, bahkan segala transaksi
akan sah dengan ijab qabul berbentuk apa saja, baik perkataan, perbuatan, atau
dengan sikap yang menunjukkan kerelaan masing-masing pelaku transaksi. Oleh
sebab itu, seandainya penjual mengatakan "Ambillah barangku ini!"
kemudian pembeli menjawab "Baiklah", maka sahlah jual beli tersebut.
Atau seandainya penjual menyerahkan barangnya kepada pembeli, kemudian pembeli
menyerahkan uang dengan harga yang disepakati, kemudian keduanya tidak
mengucapkan sepatah kata apa pun, maka sahlah jual beli tersebut. Hal ini
dianggap sah karena yang menjadi syarat adalah kerelaan dan ridha kedua belah
pihak, sebagaimana firman Alloh عزّوجلّ:
إِلاَّ أَن تَكُونَ تِجَارَةً عَن تَرَاضٍ مِّنكُمْ
Kecuali harta perniagaan dengan sama rela di antara kalian. (QS. an-Nisa': 29)
Kemudian yang mendasari pendapat ini, di antaranya karena tidak ada satu pun
dalil menunjukkan bahwa suatu transaksi tidak sah kecuali dengan ijab dan qabul
dengan perkataan-perkataan tertentu, sedangkan hukum asal dari segala transaksi
dan mu'amalah adalah halal dan dibolehkan sebagaimana dalam kaidah yang telah
disebutkan di atas.
wallahu'alam
0 komentar:
Posting Komentar
silahkan komentarnya jika ada link mati harap lapor. jazakumullah