assalamualaikum warahmatullah
saya ingin mendapatkan jawaban yang sharih dan shahih tentang pelaksanaan shalat jama'dan qasar sebab sewaktu di dewan dakwah ustad dahlan berpendapat sholat jamak dan qasar hanya dapat dilaksanakan diperjalanan sedang bila sudah sampai maka yang dilaksanakan adalah sholat jamak saja. Apa betul begitu? karena saya melaksanakan jamak dan qasar wallaupun sudah sampai di tempat tujuan.
Jazakallah khairon
Wassalamualaikum warahmatullah
Jawab:
Wa'alaikum salam warohmatullahi wabarokatuh
Hadits-hadits yang betalian dengan shalat qoshor banyak disebutkan oleh al-hafidz Ibnu Hajar dalam kitab Bulughul Maram. (Karena buku ini sedang tidak ada di tangan saya,) Berikut ini saya berikan keterangan berdasarkan kitab FIKIH SUNNAH, karya Sayyid Sabiq, terbitan Al-Ma'arif, Bandung dan SILSILAH HADITS SHAHIH, karya Syeikh M. Nashiruddin Al-Albani, terbitan Pustaka Mantiq, Solo)
- Sayyid Sabiq meyebutkan bahwa berkata Ibnu Qoyyim: "Jikalau bepergian, Rasulullah s.a.w. selaluu mengqahar shalat yang empat raka'at dan mengerjakannya hanya dua-dua rak'at, SAMPAI BELAIU KEMBALI KE MADINAH. Tidak ditemukan keterangan yang kuat bahwa beliau tetap melakukannya empat rak'at. Hal ini tidak mejadi perselisihan lagi bagi Imam-imam walau mereka berlainan pendapat tentang hukum mengqashar........." (ringkasnya) --> Hanafi (Wajib), Maliki (sunnah mu'akkad), Hambali & Syafi'i (jaiz hanya lebih utama daripada menyempurkan).
- Sayyid Sabiq membuat pasal tentang ;"Bilakah musafir itu mencukupkan shalatnya?". Kemudian menyebutkan; "Seorang musafir itu boleh terus mengqoshor shalatnya SELAMA IA MASIH DALAM BEPERGIAN. Jika ia bermukim di suatu tempat karena sesutau keperluan yang hendak diselesaikannya, maka ia tetap boleh mengqashar, sebab masih terhitung dalam bepergian walaupun bermukimnya di sana sampai bertahun-tahun lamanya. Adapun kalau ia bermaksud hendak bermukim di sana dalam waktu tertentu, maka menurut pendapat yang terkuat yang dipilih oleh Ibnu Qoyyim, bermukimnya itu belum lagi menghilangkan hukum bepergian, baik lama atau sebentar, selama ia tidak berniat hendak menjadi penduduk tetap di sana itu. Dalam hal ini para ulama mempunyai berbagai-bagai pendapat dan diringkaskan oleh Ibnu Qoyyim sambil memperkuat pendapatnya sendiri sbb:......."--->(Buat ikhwan yang tengah belajar di luar negeri baca keterangan tambahan di bawah).
- Masih dalam Fikih Sunnah, Ibnu Qoyyim menyebutkan bahwa; Dalam sahih Bukhori dari Ibnu 'Abbas, katanya: "Nabi s.a.w. bermukim dalam salahsatu perjalanannya selama sembilanbelas hari dan selalu sholat dua rak'at. Maka kamipun kalau bermukim dlam perjalanan selama sembilanbelas hari, kami akan tetap mengqashar, dan kalau lebihdari itu, akan kami cukupkan." Kemudian masih dalam keterangan dari Ibnu Qoyyim bahwa; dari Jabir bin Abdullah , katanya: "Nabi s.a.w. bermukim di Tabuk selama duapuluh hari dan selalu mengqashar shalatnya." (HR Imam Ahmad dalam musnadnya).
- Dalam penjelasan terhadap hadits tentang: JAMA' TAQDIM, Al-muhaddits Al-Albani melampirkan tambahan keterangan dari Ibnu Taimiyyah dalam Majmu'atur Rasail Wal-Masail (2/26-27): "Dan Tabuk adalah akhir peperangan Nabi saw. Beliau sesudah itu, tidak pernah bepergian kecuali ketika haji wada'. Tidak ada kasus jama' darinya kecuali di Arafah dan Muzdzalifah. Adapun di Mina, maka tidak ada seorangpun yang menukil bahwa beliau pernah menjama' di sana. Mereka hanya menukilkan bahwa beliau memang mengqashar di sana. Ini menunjukkan bahwa beliau dalam sutau bepergian terkadang menjama' dan terkadang tidak. bahkan yang lebih sering adalah bahwa beliau tidak menjama'. Hal ini juga menunjukkan bahwa beliau tidak menjama'. Dan juga menunjukkan bahwa JAMA' BUKAN MENJADI SUNNAH SAFAR SEBAGAIMANA QASHAR, tetapi dilakukan hanya bila diperlukan saja, baik dalam bepergian maupun sewaktu tidak dalam bepergian supaya tidak memberatkan ummatnya. Maka seorang musyafir bilamana memerlukan jama' maka lakukan saja baik pada waktu kedua atau pertama.............. Adapun bagi orang yang singgah beberapa hari di suatu kampung atau kota, maka meskipun ia boleh mengqashar, karena ia musafir, namun tidak diperkanankan men-jama'. Ia seperti halnya tidak boleh shalat diatas kendaraan, tidak boleh shalat dengan tayamum, dan tidak boleh makan bangkai. Hal-hal ini seperti halnya diperbolehkan sewaktu diperlukan saja. Lain halnya dengan soal qashar. Sesungguhnya ia memang manjadi sunnah dalam shalat di perjalanan."
Saya berkesimpulan:
Yang benar adalah: Rasulullah shallallahu 'alaihi wassalam mengqoshor shalat setiap kali dalam perjalanan (keluar dari Madinah) HINGGA KEMBALI ke Madinah. Tidak ada keterangan dari ulama' berdasarkan sunnah baik dari Rasulullah shallallahu 'alaihi wassalam maupun Shahabat Ridwanullahu ajma'in bahwa beliau (mereka) mencukupkan (tidak mengqoshor lagi) setelah SAMPAI DI TUJUAN, kecuali bila ada niat bermukim ditempat yang dituju itu.
Dengan demikin, InsyaAllah, akan lebih dekat pada kebenaran bila melakukan jama' qoshor ditengah jalan saja dan mengqoshor saja (tanpa jama', kecuali bila diperlukan) bila telah sampai tujuan, baru kemudian menyempurnakan bila telah kembali. Wallahu 'alam.
Tambahan buat ikhwan yang tengah belajar di luar negri:
Kita tinggal selama beberapa tahun, berdasarkan pendapat Ibnu Qoyyim seperti tersebut diatas (nomor 2) maka kita adalah musafir yang berhak bahkan diutamakan untuk mengqashar.
Namun disini saya sampaikan bahwa, saya telah mendengar keterangan dari ustadz Yazid bahwa telah ada fatawa dari masyayih (Syeik Bin Baz, Syeikh Utsaimin, dll) bahwa : Tidak tepat menyamakan antara "safar" kita dengan "safar" Rasulullah saw, karena beliau TIDAK PERNAH MENETAPKAN berapa lama mau tinggal/singgah ditempat tujuan, sebagaimana ketika di Makkah maupun di Tabuk, tidak ada rencana sekian-sekian hari. Sehingga kita lebih tepat dihukumi mukim (walau sementara) dan berlaku hukum-hukum bagi yang bermukim. Beliau (Ustadz Yazid) menandaskan bahwa FATAWA ITU TELAH ADA.
Fatawa itu tentunya dibuta dengan tidak mengabaikan pendapat Ibnu Qoyyim. Sambil menunggu kiriman keterangan tertulis dari ustadz baik berupa fatawa masyayikh tersebut atau tulisan beliau sendiri, saya tinggalkan pendapat Al-'alamah Ibnu Qoyyim (dalam hal ini ). Adalah lingkup ijtihad orang awwam untuk memilih pada ulama' mana ia akan tsiqoh. Wallahu 'alam.
Wassalamu 'alaikum
0 komentar:
Posting Komentar
silahkan komentarnya jika ada link mati harap lapor. jazakumullah