إِنَّمَا الأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ
Amal Perbuatan Itu Tergantung pada
Niatnya
Lafadz
diatas adalah petikan dari sebuah hadits Rosululloh صلى الله عليه وسلم yang
sangat masyhur dari Umar bin Khothob
رضي الله عنه:
عن
عُمَرَ بْنَ الْخَطَّابِ – رضى الله عنه – قَالَ سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ – صلى
الله عليه وسلم – يَقُولُ « إِنَّمَا الأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ ، وَإِنَّمَا
لِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى ، فَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ إِلَى دُنْيَا يُصِيبُهَا
أَوْ إِلَى امْرَأَةٍ يَنْكِحُهَا فَهِجْرَتُهُ إِلَى مَا هَاجَرَ
إِلَيْهِ
Dari
Umar bin Khothob berkata : “Saya mendengar Rosululloh صلى الله عليه وسلم bersabda
: “Sesungguhnya amal perbuatan itu tergantung pada niatnya, dan sesungguhnya
setiap orang itu tergantung terhadap apa yang dia niatkan, maka barang siapa
yang hijrohnya untuk Alloh dan Rosul Nya
maka hijrohnya itu untuk Alloh dan Rosul Nya, dan barangsiapa yang hijrohnya
untuk mendapatkan dunia maka dia akan mendapatkannya atau hijrohnya untuk
seorang wanita maka dia akan menikahinya, maka hijrohnya itu tergantung pada apa
yang dia hijroh untuknya.” (HR. Bukhori 1, Muslim
1907)
Kaedah dengan lafadl diatas lebih saya utamakan untuk dijadikan sebagai
sebuah kaedah daripada lafadl yang sangat masyhur yaitu
:
الأُمُوْرُ بِمَقَاصِدِهَا
“Semua Perkara Itu Tergantung pada
Tujuannya.”
Hal ini minimalnya disebabkan oleh dua hal, yaitu
:
1. Lafadl diatas adalah lafadl syar’i, dan bagaimanapun juga sebuah
lafadl yang terdapat dalam al Kitab dan as Sunnah itu lebih dikedepankan serta
diutamakan daripada lainnya.
Sebagai
sebuah contoh adalah apa yang ditegaskan oleh Syaikh Muhammad bin Sholih Al
Utsaimin رحمه الله bahwa menggunakan lafadl tamtsil itu lebih bagus daripada
lafadl tasybih1, hal ini
dikarenakan lafadl yang terdapat dalam
al Qur’an adalah tamtsil, sebagaimana firman Alloh Ta’ala
:
لَيْسَ
كَمِثْلِهِ شَيْءٌ
“Tiada sesuatupun yang serupa dengan Alloh.” (QS. Asy Syuro/42:
11)2
Oleh karena itu para ulama’ faroidl saat mengungkapkan adanya orang yang
meninggal dunia dengan lafadl : “إِذَا هَلَكَ هَالِكٌ” yang secara leterlek bahasa Indonesia
berarti : “Apabila ada orang yang binasa”, dan mereka tidak menggunakan
bahasa yang kedengarannya lebih halus misalkan : “إِذَا تُوُفِّيَ رَجُلٌ” yang artinya adalah : “Apabila ada seseorang
yang wafat.” Hal ini disebabkan karena bahasa al Qur’an menggunakan ungkapan
yang pertama, sebagaimana firman Nya:
إِنِ
امْرُؤٌ هَلَكَ لَيْسَ لَهُ وَلَدٌ وَلَهُ
أُخْتٌ فَلَهَا نِصْفُ مَا تَرَكَ
“Jika seorang meninggal dunia, dan dia tidak mempunyai anak dan mempunyai
saudara perempuan maka bagi saudaranya yang perempuan tersebut setengah dari
harta yang ditinggalkannya.” (QS. An Nisa’/4: 176)
2.
Lafadl tersebut diatas adalah apa yang diungkapkan oleh Rosululloh صلى الله عليه وسلم, sedangkan beliau adalah seseorang yang diberikan oleh Alloh
Jawami’ul kalim yaitu sebuah ucapan yang pendek lafadlnya namun
mengandung makna yang sangat banyak. Sebagaimana sabdanya Rosululloh
صلى الله عليه وسلم:
عَنْ
أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُوْلُ اللهِ قَالَ : فُضِّلْتُ عَلَى الْأَنْبِيَاءِ
بِسِتٍّ : أُعْطِيْتُ جَوَامِعَ الْكَلِمِ.....
Dari Abu Huroiroh bahwasanya Rosululloh bersabda : “Saya diberi keutamaan
diatas para nabi dengan enam perkara, yaitu : Saya diberi jawami’ul
kalim,…” (HR. Muslim 523)
Oleh
karena itulah maka Imam As-Subki رحمه الله berkata
saat menerangkan kaedah : “الأُمُوْرُ بِمَقَاصِدِهَا” : “Dan yang lebih bagus daripada lafadl ini adalah
ucapan seseorang yang diberi jawami’ul kalim yaitu : “إِنَّمَا الأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ”.
Kaedah ini adalah sebuah kaedah yang sangat penting, masuk didalamnya
semua permasalahan agama.
1. Imam Ibnu Rojab رحمه الله saat menerangkan hadits Umar رضي الله عنه diatas berkata:
“Dua kalimat ini adalah dua kalimat yang mencakup semua hal, dan
merupakan sebuah kaedah yang universal, tidak ada sesuatupun yang keluar
darinya.”1
2. Cukuplah untuk mengetahui pentingnya kaedah
ini adalah apa yang dikatakan oleh Imam Asy-Syathibi رحمه الله:
“Sesungguhnya amal perbuatan itu tergantung pada niatnya, dan sebuah
tujuan itu dijadikan sandaran dalam menghukumi sebuah perbuatan, baik yang
berupa ibadah maupun adat2,
dalil-dalil tentang masalah ini sangat banyak tidak bisa terhitung, dan cukuplah
bagimu bahwasannya niat itu membedakan antara perbuatan yang merupakan adat
ataupun ibadah, niat juga yang membedakan apakah ibadah ini wajib ataukah bukan
wajib, juga dalam masalah adat, apakah dia itu merupakan adat yang wajib ataukah
sunnah, mubah, makruh ataukah sampai tingkat keharaman, juga sah dan tidaknya
serta hukum-hukum lainnya yang berhubungan dengan hal ini.”3
3. Imam Al-Khothobi رحمه الله saat menerangkan hadits Umar رضي الله عنه diatas pun berkata:
“Hadits ini adalah salah satu dasar pokok dalam agama, banyak hukum yang tergabung didalamnya. Maknanya adalah bahwasannya sah tidaknya amal perbuatan dalam agama ini tergantung pada niatnya, dan sesungguhnya niat itulah yang membedakan mana yang sah dengan yang tidak sah dalam sebuah amal perbuatan.”
A. Pengertian
Niat
Secara
bahasa, niat adalah bentuk mashdar dari akar kata نَوَى يَنْوِيْ yang maknanya adalah bermaksud atau bertekad untuk melakukan
sesuatu. (Lihat
Lisanul Arob Ibnu Ibnu Mandhur bab نوى)
Sedangkan secara istilah, makna niat adalah berkehendak untuk menjalankan ketaatan kepada Alloh عزّوجلّ dengan melakukan atau meninggalkan sesuatu. (Lihat Asybah wan Nadzo’ir oleh Ibnu Nujaim hlm : 29)
B. Tempat
Niat
Tidak ada perselisihan dikalangan para ulama’ bahwa tempatnya niat adalah
didalam hati.
Syaikhul
Islam Ibnu Taimiyyah رحمه الله berkata:
“Tempat niat itu di hati, bukan di lisan berdasarkan kesepakatan para
ulama’.”
“Ini berlaku untuk semua ibadah, baik itu thoharoh, sholat, zakat, puasa,
haji, memerdekakan budak, jihad maupun lainnya.” (Majmu’
Rosa’il Kubro 1/243)
Oleh karena itu kalau ada seseorang yang melafadzkan niatnya dengan
lisan, namun apa yang dia lafadzkan itu berbeda dengan yang terdapat dalam
hatinya, maka yang dianggap sebagai niatnya adalah apa yang terdapat dalam
hatinya bukan lisannya, demikian juga kalau seseorang melafadzkan niat dengan
lisannya, namun dalam hatinya tidak ada niat sama sekali, maka niatnya tidak
sah. Demikianlah yang dikatakan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah. Beliau
berkata :
“Seandainya seseorang mengucapkan dengan lisannya berbeda dengan apa yang
dia niatkan dalam hatinya, maka yang dianggap adalah yang dia niatkan bukan yang
dia ucapkan, dan seandainya seseorang mengucapkan dengan lisannya namun tidak
ada niat dalam hatinya maka niat tersebut tidak sah. Hal ini berdasarkan
kesepakatan para ulama’, karena niat itu adalah kehendak dan tekad yang terdapat
dalam hati.”
Untuk sedikit meluaskan masalah ini silahkan
lihat:
1. Zadul Ma’ad 1/196,
2. Ighotsatul Lahfan 1/134,
3. Syarhul Mumti’ 1/159, dan lainnya
C. Fungsi
Niat
Fungsi niat ada dua :
Pertama :
Membedakan antara adat dengan
ibadah
Karena hampir semua bentuk ibadah mempunyai kemiripan dengan yang berupa
adat. Misalnya :
Puasa, yang hakekatnya adalah menahan diri dari makan, minum dan jima’
serta semua yang membatalkan dari terbit fajar sampai terbenamnya matahari.
Perbuatan ini mungkin saja dilakukan oleh seseorang karena sedang berpuasa, tapi
juga mungkin dilakukan oleh seseorang karena sedang diet, atau akan menjalani
operasi atau sebab lainnya, maka untuk membedakan antara keduanya harus
dibedakan dengan niatnya. Kalau dia berniat puasa, maka dia adalah ibadah,
sedangkan kalau diniatkan untuk lainnya maka dia adalah adat dan bukan
ibadah.
Contoh lain berwudlu, yang hakekatnya membasuh dan mengusap anggota badan
tertentu dengan cara tertentu. Perbuatan semacam ini bisa dilakukan seseorang
karena akan menjalankan sholat, namun bisa juga dilakukan oleh seseorang hanya
karena ingin mendinginkan badan. Maka yang pertama menjadi ibadah dan yang
keduanya hanyalah adat belaka dan bukan ibadah.
Kedua
:Membedakan antara satu ibadah dengan ibadah
lainnya
Hal ini dikarenakan satu jenis ibadah itu bisa bermacam-macam. Ambil misal tentang sholat, sholat itu ada
yang wajib dan ada yang sunnah, sedangkan yang wajib ada berbagai macam begitu
pula dengan yang sunnah, maka untuk membedakan antara keduanya maka wajib
menentukannya dengan niat.
Begitu pula masalah puasa, ada yang wajib dan ada yang sunnah. Kalau ada seseorang yang puasa pada hari Senin pada bulan Syawal, maka mungkin itu puasa hari Senin, atau puasa enam hari bulan Syawal atau mungkin puasa qodlo Romadhon atau mungkin puasa kaffaroh dan masih ada kemungkinan lainnya, maka untuk menentukan salah satunya harus dengan niat.
D. Macam-macam
Niat
Niat ada dua macam :
1. Niat
Amal
· Yang dimaksud dengan niat amal adalah bahwasannya dalam mengerjakan
sebuah amal perbuatan harus diniati dengan niat tertentu tentang apa jenis dan
macam dari ibadah tersebut. Yang atas dasar inilah, maka tidak akan sah sebuah
jenis cara bersuci, sholat, zakat dan ibadah lainnya kecuali dengan adanya niat,
seseorang harus meniatkan ibadah tersebut, dan jika ibadah itu terdapat berbagai
jenis dan macamnya, maka harus menentukan
macam dan jenis apa ibadah tersebut. Sebagai sebuah contoh adalah sholat,
maka seseorang harus menentukan dengan niatnya apakah dia sholat wajib ataukah
sunnah, dan jika sholat itu wajib maka harus ditentukan apakah itu sholat dhuhur
ataukah ashar dan seterusnya.
· Niat inilah yang juga membedakan antara adat dengan ibadah. Sebagai
sebuah contoh bahwasannya mandi itu bisa cuma berfungsi untuk membersihkan badan
saja, namun bisa juga untuk menghilangkan hadats besar, itu semua tergantung
pada niatnya.
· Fungsi niat amal ini untuk menentukan apakah amal perbuatan ini sah
ataukah tidak.
2. Niat Ma’mul Lahu (untuk
siapakah amal perbuatan tersebut ditujukan ?)
· Dan
inilah yang kita sebut dengan ikhlas, yaitu harus meniatkan semua amal perbuatan
itu hanya untuk Alloh Ta’ala saja bukan lainnya. Alloh عزّوجلّ berfirman :
وَمَا أُمِرُوا إِلَّا لِيَعْبُدُوا اللَّهَ مُخْلِصِينَ لَهُ
الدِّينَ
“Dan tidaklah mereka diperintahkan kecuali untuk beribadah kepada Alloh
dengan mengikhlaskan agama hanya kepada Nya.” (QS. Al Bayyinah/98:
5)
· Dan
niat yang ini untuk menentukan apakah amal perbuatan itu diterima oleh Alloh
عزّوجلّ ataukah tidak. (Lihat
Bahjah Qulubil Abror oleh Syaikh Abdur Rohman As Sa’di hal :
6,7)
Kaedah ini mencakup semua permasalahan hukum syar’i, namun cukuplah
sebagai sebuah gambaran, saya sebutkan beberapa contoh penerapannya, yaitu
:
1. Barang siapa yang membunuh seorang muslim tanpa ada sebab syar’i yang
membolehkannya, maka kalau dia melakukannya karena unsur kesengajaan maka ada
hukum tersendiri, sedangkan kalau tanpa sengaja maka hukumannya pun
lain.
2.
Barang siapa yang mengambil sebuah barang yang terjatuh dijalanan dengan
niat untuk dimilikinya, maka dia itu disebut Ghosib (orang yang mengambil
harta orang lain dengan jalan haram), yang karena itu maka dia wajib untuk
mengembalikannya, kalau benda itu rusak ditangannya, baik rusaknya karena
kesengajaan dari dia ataukah tidak, namun kalau dia mengambilnya dengan niat
untuk menyimpannya dan akan mengembalikannya kepada pemiliknya maka dia menjadi
seorang amin (orang yang mendapatkan kepercayaan untuk menjaga sebuah benda),
maka atas dasar ini dia itu tidak menggantinya meskipun rusak ditangannya
kecuali kalau sengaja dia merusaknya. (Lihat
Al-Wajiz Fi Idlohi Qowaidil Fiqh oleh DR. Muhammad Shidqi hal :
124)
3.
Orang
yang makan, kalau dia berniat dengan makannya untuk bisa menjalankan ibadah
kepada Alloh عزّوجلّ, maka makannya berubah menjadi ibadah yang berpahala, namun
kalau tidak berniat sama sekali dan cuma karena sudah kebiasaannya dia makan,
maka dia tidak mendapatkan apa-apa. Begitu juga amal perbuatan lain yang asalnya
mubah. (Lihat
Bahjah Qulubil Abror hal : 14)
4. Barang siapa yang menjual anggur atau lainnya dengan niat untuk dijadikan
sesuatu yang haram, seperti akan dijadikan sebagai khomer, maka hukumnya haram,
sedangkan kalau tidak ada niat dan tujuan seperti itu maka hukumnya
halal
5. Seseorang yang dititipi sebuah barang untuk dijaganya, lalu dia
memakainya, maka berarti dia telah berbuat melampaui batas terhadap benda
tersebut, yang mana dia harus menggantinya apabila rusak. Lalu jika dia
menyimpannya kembali tapi dengan niat akan memakainya kembali maka dia tetap
wajib menggantinya apabila rusak ditangannya meskipun tanpa ada unsur
kesengajaan darinya. Namun kalau setelah dia pakai itu lalu dia simpan kembali
dengan niat tidak akan memakainya lagi, maka dia tidak menggantinya kalau rusak
tanpa ada unsur kesengajaan darinya.
6. Kalau ada seseorang yang tidur sebelum dhuhur, lalu bangun saat jam satu
siang, namun dia menyangka kalau saat itu sudah jam lima sore, kemudian dia
sholat empat rokaat dengan niat sholat ashar, maka sholatnya tidak sah dan dia
harus mengulang sholat dhuhur lagi, juga dia harus mengerjakan sholat ashar
kalau sudah masuk waktunya. Tidak sahnya sholat dhuhur karena dia berniat sholat
ashar dan bukan sholat dhuhur, sedangkan tidak sah sholat asharnya karena belum
masuk waktunya. Namun kalau dia sholat tadi dengan niat sholat dhuhur maka
sholatnya sah.
Sebagian
orang ada yang menyalahgunakan kaedah ini, mereka mengatakan bahwa semua amal
perbuatan itu tergantung niatnya, baik amal tersebut baik ataupun jelek. Yang
atas dasar ini mereka mengatakan bahwa orang yang melakukan perayaan maulid nabi
misalnya, akan mendapatkan pahala karena niatnya untuk mengungkapkan rasa cinta
kepada Rosululloh صلى الله عليه وسلم, juga orang yang mencuri bisa saja mendapatkan pahala kalau dia
berniat untuk membantu orang yang faqir dengan hasil curiannya. Dan masih
banyak gambaran salah lainnya dari
kaedah ini.
Untuk menjawab hal ini cukup, saya katakan beberapa point
berikut:
1. Wajib bagi seorang muslim kalau ingin menghukumi sebuah masalah, jangan
hanya mengambil satu atau dua buah dalil serta meninggalkan lainnya, namun
hendaklah dia melihat semua dalil syar’i yang berhubungan dengan masalahnya lalu
baru dia hukumi.
2. Berdalil
dengan kaedah ini untuk hal diatas adalah sebuah kesalahan fatal, karena kaedah
ini cuma untuk menjelaskan salah satu pokok dan dasar bisa diterimanya sebuah
amal, yaitu masalah ikhlas kepada Alloh Ta’ala dalam semua amal perbuatan
yang dilakukannya. Dan masih ada satu pokok lagi yang harus dipenuhi, yaitu
mengikuti Sunnah Rosululloh صلى الله عليه وسلم dalam apa yang dia kerjakan.
Berdasarkan sabda Rosululloh صلى الله عليه وسلم:
عَنْ
عَائِشَةَ قَالَتْ : قَالَ رَسُوْلُ اللهِ : مَنْ عَمِلَ عَمَلًا لَيْسَ عَلَيْهِ
أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ
Dari
Aisyah رضي الله عنها berkata : “Rosululloh bersabda : “Barang siapa yang melakukan
sebuah amal perbuatan yang tidak ada contohnya dari kami maka amal perbuatan itu
tertolak.” (HR. Muslim : 1718)
3.
Kaedah
diatas adalah timbangan amalan bathin sedangkan hadits Aisyah رضي الله عنها adalah
timbangan amal perbuatan dhohir.1
Alangkah
bagusnya apa yang dikatakan oleh Imam Ibnul Qoyyim رحمه الله: “Sebagian ulama’ salaf berkata :
“Tidak ada satupun amal perbuatan kecuali akan dipertanyakan dua hal,
yaitu (1) kenapa dan untuk siapa engkau lakukan amal perbuatan ini, serta (2)
bagaimana engkau melakukannya?
· Pertanyaan kenapa, adalah untuk menanyakan masalah
niat.
· Sedangkan pertanyaan bagaimana, adalah untuk menanyakan sesuai dan
tidaknya amal perbuatan tersebut dengan sunnah
Rosululloh.
Ada
beberapa permasalahan fiqhiyah yang keluar dari kaedah diatas, diantaranya
adalah :
1. Kalau ada seseorang yang membunuh orang yang dia akan mewarisi hartanya
dengan niat supaya bisa cepat mendapatkan harta warisan, maka dia tidak bisa
mendapatkannya, sebagai hukuman atas
perbuatannya.
2. Kalau ada seorang suami yang menceraikan istrinya saat sakit menjelang
kematian dengan niat agar istrinya tersebut tidak mewarisi hartanya, maka si
istri tetap mewarisinya.
3. Dan beberapa masalah lain yang mirip dengan
ini.
Maka masalah ini tidak dilihat niatnya, bahkan dihukumi dengan kebalikan
dari niatnya yang jelek tersebut.
Namun kalau kita cermati, sebenarnya masalah yang saya katakan
pengecualian ini tercakup dalam sebuah kaedah fiqhiyyah lainnya
yaitu:
مَنِ اسْتَعْجَلَ شَيْئًا قَبْلَ أَوَانِهِ عُوْقِبَ
بِحِرْمَانِهِ
“Barang siapa yang mempercepat sesuatu sebelum waktunya, maka dia
diharamkan untuk mendapatkannya.”
Yang insya Alloh penjelasan mengenai kaedah ini kita bahas pada bab
tersendiri.
Wallahu
a’lam.[]
0 komentar:
Posting Komentar
silahkan komentarnya jika ada link mati harap lapor. jazakumullah