لاَ ضَرَرَ وَلاَ ضِرَا رَ
Tidak Boleh Berbuat Sesuatu yang
Membahayakan
Lafadz kaedah ini terambil dari sabda Rosululloh صلى الله عليه وسلم yang diriwayatkan oleh Ibnu Majah 2/784, Baihaqi 10/133, Ahmad 1/313, Daruquthni 4/228, Hakim 2/57 dan beliau mengatakan shohih menurut syarat Imam Bukhori Muslim dan disepakati oleh Imam Dzahabi; Malik 2/745, Abu Dawud dalam Marosil hal : 44 dan lainnya dengan sanad hasan dari jalan beberapa sahabat Rosululloh صلى الله عليه وسلم diantaranya adalah Ubadah bin Shomith, Ibnu Abbas, Abu Sa’id al Khudri, Abu Huroiroh, Jabir bin Abdillah, Aisyah, Tsa’labah bin Abi Malik al Qurodli dan Abu Lubabah Rodliyallohu anhum ajma’in. (Lihat Takhrij hadits ini secara lengkap dalam Jami’ Ulum wal Hikam oleh Imam Ibnu Rojab hadits no : 32)
Dalam sebagian kitab yang membahas kaedah fiqhiyyah, kaedah ini diungkapkan dengan lafadl :
الضَرَرُ يُزَالُ
“Sesuatu yang membahayakan itu harus dihilangkan.”
Namun ungkapan kaedah ini dengan lafadl diatas lebih baik, karena beberapa sebab yang sudah saya katakan pada kaedah pertama, yang intinya adalah:
1. Bahwa lafad لاَ ضَرَرَ وَلاَ ضِرَارَ adalah nash Rosululloh صلى الله عليه وسلم, dan bagaimanapun juga nash dari Rosululloh صلى الله عليه وسلم lebih diutamakan daripada lainnya.
2. Kaedah diatas mempunyai cakupan yang lebih luas, yaitu menghilangkan kemadlorotan yang berhubungan dengan diri sendiri maupun orang lain, baik dia yang memulai maupun saat membalas kejahatan orang lain.
3. Kekuatan dalil kaedah fiqhiyah yang terambil langsung dari nash Rosululloh jauh diatas kekuatan sebuah kaedah fiqhiyyah yang bukan diambil langsung dari sabda beliau. (Lihat Al Wajiz fi Idlohi qowaid Fiqhil Kulliyah oleh DR. Muhamad Shidqi al Ghozzi hal: 251)
Para ulama berbeda pandangan saat menerangkan sabda Rosululloh صلى الله عليه وسلم yang menjadi sebuah kaedah fiqhiyyah diatas. Namun apapun perbedaan itu, semuanya tetap menuju pada sebuah tujuan yang sama yaitu bahwasannya sesuatu yang membahayakan itu harus dihilangkan secara hukum syar’i. (Lihat Bada’i Shona’i oleh Imam Al Kasani 5/136)
Cukuplah disini saya paparkan sebagian perkataan para ulama tentang hadits ini, yang insya Alloh bisa mewakili yang lainnya :
Imam Ibnu Abdil Bar berkata:
“Adapun sabda Rosululloh: لاَ ضَرَرَ وَلاَ ضِرَارَ ada yang mengatakan bahwa keduanya adalah dua lafadl tapi mengandung arti yang sama, Rosululloh mengungkapkan keduanya itu hanya untuk semakin menguatkan pembicaraan”.
Ibnu Habib رحمه الله berkata :
“Lafadl ضَرَرَ menurut para pakar bahasa arab adalah nama dari sesuatu yang membahayakan, sedangkan ضِرَارَ adalah perbuatan yang membahayakan itu sendiri.” Beliau juga mengatakan bahwa makna ضَرَرَ adalah janganlah seseorang itu berbuat sesuatu yang dia tidak melakukannya untuk dirinya sendiri, sedangkan arti ضِرَارَ adalah janganlah seseorang itu membahayakan orang lain.” Inilah yang dinukil oleh Ibnu Habib.
Al Khusyani رحمه الله berkata :
ضَرَرَ adalah sesuatu yang membayakan yang engkau bisa memetik manfaatnya tapi bisa membahayakan orang lain, sedangkan adl dliror adalah perbuatan yang engkau sama sekali tidak bisa memetik manfaatnya namun bisa membahayakan orang lain”.
Sedangkan para ulama’ lainnya juga berkata:
“Lafadl: لا ضرر و لا ضرار mirip dengan lafadl: القتل yang artinya membunuh dan lafadl القتال yang berarti memerangi, maksudnya adalah bahwasanya makna adl dloror adalah berbuat sesuatu yang membahayakan orang lain yang mana dia tidak berbuat yang membahayakan dirinya, sedangkan makna adl dliror adalah berbuat sesuatu yang membahayakan orang lain yang mana dia berbuat jahat kepadanya kalau hal itu tidak diilakukan untuk membela sebuah kebenaran.” (Lihat At Tamhid 20/158)
Syaikh Ahmad Az Zarqo berkata :
“Para ulama berselisih tentang perbedaan antara kedua lafadl ini menjadi banyak pendapat, namun telah disebutkan oleh Imam Ibnu Hajar al Haitsami رحمه الله dalam syarah Arba’in Nawawi bahwa yang paling bagus adalah bahwa makna لاَ ضَرَرَ adalah larangan berbuat yang membahayakan orang lain secara muthlak, sedangkan makna لاَ ضِرَارَ adalah jangan berbuat sesuatu yang membahayakan orang lain meskipun untuk membalas perbuatan jahatnya.” (Lihat Syarah Qowa’id Fiqhiyyah hal : 140)
Hadits ini menunjukkan bahwa semua bentuk perbuatan yang membahayakan harus dihilangkan dan tidak boleh di kerjakan, karena Rosululloh mengungkapkannya dengan bentuk penafian, yang mencakup semua bentuk perbuatan yang membahayakan. (Lihat Al Wajiz hal : 252)
Imam Al Munawi رحمه الله berkata :
“Hadits ini mencakup semua bentuk perbuatan yang membahayakan, karena kalimat dengan bentuk nakiroh kalau jatuh setelah lafadl penafian menunjukkan keumuman.” (Lihat Faidlul Qodir 6/431)
Semua keterangan ini adalah tertuju pada larangan untuk berbuat sesuatu yang membahayakan orang lain kalau tanpa ada sebab yang membenarkan perbuatan tersebut, namun kalau ada sebab yang membenarkannya secara syar’i, maka itu diperbolehkan. Misalnya memotong tangan seorang yang mencuri, merajam orang yang berzina muhson dan lainnya, karena meskipun semua ini ada sisi kemadlorotannya, namun hal itu diperbolehkan karena dilakukan dengan cara yang benar, dan madlorot yang ditimbulkannya tidak sebanding dengan manfaat yang dihasilkannya.
Dan kalau dicermati, bahwa perbuatan yang membahayakan orang lain tanpa ada sebab yang membolehkannya secara syar’i itu ada dua kemungkinan, yaitu :
1. Perbuatan yang memang dilakukan dengan tujuan membahayakan orang lain dan sama sekali tidak bermanfaat bagi pelakunya kecuali hanya untuk membahayakan orang lain saja. Maka perbuatan ini jelas-jelas terlarang. Banyak sekali dalil yang menunjukkan akan hal ini.
2. Perbuatan yang membahayakan orang lain namun ada manfaatnya bagi pelaku, seperti kalau seseorang berbuat sesuatu dalam miliknya sendiri namun mengakibatkan bahaya bagi orang lain, maka hukumnya ada dua kemungkinan :
Yang pertama: kalau hal itu dilakukan dengan cara yang tidak wajar, maka dia harus mengganti kerugian yang diderita oleh orang lain tersebut, seperti kalau dia membakar sampah miliknya ditanahnya sendiri pada saat terik matahari yang sangat menyengat dan angin sedang berhembus kencang, lalu tidak dia jaga menjalarnya api dan selanjutnya api tersebut membakar benda milik tetangganya maka dia wajib mengantinya.
Yang kedua: Kalau hal itu dilakukan dengan cara yang wajar, maka para ulama’ berselisih pendapat akan boleh dan tidaknya. Namun yang rajih bahwa hal tersebut juga dilarang. seperti seseorang yang memelihara ayam ditengah-tengah perkampungan yang baunya sangat mengganggu masyarakat sekitar, membuat bangunan yang tinggi sehingga bisa melihat aurot tetangganya, mengunakan bahan peledak untuk mengambil batu di gunung kalau hal itu bisa merobohkan atau meretakkan bangunan rumah yang ada disekitarnya dan beberapa contoh yang semisalnya (Lihat Al Mughni oleh Imam Ibnu Qudamah 7/52, Jami’ lum wal Hikam dengan sedikit perubahan dan tambahan)
Kaedah ini mempunyai kedudukan yang sangat agung dalam syariat agama islam, bahkan bukan berlebihan kalau saya katakan bahwasanya kaedah ini mencakup separoh agama islam, karena syariat islam dibangun atas dua hal yaitu mendatangkan kemaslahatan dan menghilangkan kemadlorotan, dan kaedah ini mencakup semua bentuk kemadlorotan harus dihilangkan (Lihat Syarah Kaukab Munir oleh Ibnu Najjar Al Hanbali 4/443)
Kaedah ini juga merupakan salah satu rukun syariat islam yang agung, yang mana kandunganya dikuatkan oleh banyak sekali dalil dari al Qur’an adan As sunnah. Kaedah ini merupakan pondasi untuk mencegah perbuatan yang membahayakan, juga pondasi untuk mengganti kerugian perbuatan yang membahayakan tersebut baik secara perdata maupun pidana, kaedah ini merupakan dasar bagi para fuqoha’ dalam menentukan berbagai permasalahan yang berhubungan dengan banyak kejadian. (Lihat Al Madkhol Al Fiqh al ‘Am oleh Az Zarqo 2/977)
Banyak sekali dalil yang menguatkan kandungan dari kaedah ini, selain hadits diatas yang merupakan pokok kaedah ini, yang intinya adalah tentang menghilangkan sesuatu yang membahayakan diri dan orang lain dengan cara apapun, diantaranya adalah :
1. Firman Alloh عزّوجلّ tentang larangan wasiat yang membahayakan :
مِنْ بَعْدِ وَصِيَّةٍ يُوصَى بِهَا أَوْ دَيْنٍ غَيْرَ مُضَارٍّ
“Setelah ditunaikan wasiat yang dibuat olehnya atau setelah dibayar hutangnya dengan tidak memberi madhorot kepada ahli waris.” (QS. An An Nisa’ [4]: 12)
2. Firman Alloh عزّوجلّ tentang larangan ruju’ kepada istri untuk tujuan membahayakannya :
وَإِذَا طَلَّقْتُمُ النِّسَاءَ فَبَلَغْنَ أَجَلَهُنَّ فَأَمْسِكُوهُنَّ بِمَعْرُوفٍ أَوْ سَرِّحُوهُنَّ بِمَعْرُوفٍ وَلَا تُمْسِكُوهُنَّ ضِرَارًا لِتَعْتَدُوا وَمَنْ يَفْعَلْ ذَلِكَ فَقَدْ ظَلَمَ نَفْسَهُ
“Apabila kamu mentalak istri-istrimu, lalu mereka mendekati masa iddahnya, maka rujuklah kepada mereka dengan cara yang bagus atau ceraikanlah dengan cara yang baik pula, janganlah kamu rujuk pada mereka untuk memberi kemudhorotan, karena dengan demikian kamu telah berbuat yang menganiaya mereka. Barang siapa yang berbuat demikian maka berarti dia telah berbuat dholim kepada dirinya sendiri.” (QS. Al Baqoroh [2]: 231)
3. Firman Allohسبحانه و تعالى tentang masalah menyusui anak:
لَا تُضَارَّ وَالِدَةٌ بِوَلَدِهَا وَلَا مَوْلُودٌ لَهُ بِوَلَدِهِ
“Janganlah seorang ibu mendapatkan kemudhorotan disebabkan oleh anaknya dan juga seorang ayah karena anaknya.” (QS. Al Baqoroh [2]: 233)
4. Firman Alloh Ta’ala:
أَسْكِنُوهُنَّ مِنْ حَيْثُ سَكَنْتُمْ مِنْ وُجْدِكُمْ وَلَا تُضَارُّوهُنَّ لِتُضَيِّقُوا عَلَيْهِنَّ
“Tempatkanlah mereka (para istri) dimana kamu bertempat tinggal menurut kemampuanmu dan janganlah kamu menyusahkan mereka untuk menyempitkan (hati) mereka.” (QS. Ath Tholaq [65]: 6)
5. Firman Allohسبحانه و تعالى dalam hadits Qudsi :
يَا عِبَادِى إِنِّى حَرَّمْتُ الظُّلْمَ عَلَى نَفْسِى وَجَعَلْتُهُ بَيْنَكُمْ مُحَرَّمًا فَلاَ تَظَالَمُوا
“Wahai hamba-Ku, sesungguhnya Aku mengharamkan kedholiman atas diri-Ku, maka janganlah kalian saling mendholimi.” (HR. Muslim 4/1994)
dan masih banyak lagi dalil lainya.
Kayaknya tidak mungkin untuk menyebutkan semua penerapan kaedah ini, namun kita isyaratkan pada sebagiannya saja, adapun yang lainnya silahkan untuk di qiaskan sendiri dengan yang sudah ada.
Diantara penerapan kaedah ini, ada yang terambil dari atsar para sahabat ataupun yang ditegaskan oleh para ulama. Diantaranya adalah:
1. Barang siapa yang barangnya dirusak oleh orang lain, maka dia tidak boleh merusak barang milik orang lain tersebut, karena itu akan memperluas kemadhorotan tanpa ada faedah yang berarti, namun cukup dengan meminta ganti rugi.
2. Seandainya ada seseorang yang menyewa tanah orang lain untuk ditanami padi atau tanaman lainnya, lalu habis masa sewa padahal padi masih belum waktunya panen, maka tanah itu masih berada dalam genggaman yang menyewa sampai masa panen dengan membayar sewa tanah tambahan sesuai adat yang berlaku di masyarakat, itu demi menghilangkan kemadhorotan kalau tanaman harus di panen sebelum waktunya.
3. Haram merokok, karena itu akan membahayakan diri pelaku dan orang yang ada disekitarnya.
4. Boleh bagi pemerintah untuk melarang para pedagang dari mengimport barang dari luar negeri kalau hal itu akan membahayakan perkonomian dalam negeri, begitu pula sebaliknya boleh bagi pemerintah untuk melarang eksport barang keluar negri kalau barang tersebut sangat terbatas dan tidak mencukupi kebutuhan penduduk negeri tersebut.
5. Dilarang menimbun makanan atau benda lain yang sangat dibutuhkan oleh masyarakat karena itu akan membahayakan mereka.
6. Kalau ada seseorang yang pesan kepada tukang kayu untuk dibuatkan lemari, maka dia wajib untuk menerimanya kalau si tukang telah membuatkan sesuai dengan kriteria yang disepakati, karena kalau tidak maka akan memadhorotkan tukang kayu tersebut.
CABANG-CABANG KAEDAH
لاَ ضَرَرَ وَلاَ ضِرَا رَ
Tidak boleh berbuat sesuatu yang membahayakan
Ada beberapa kaedah yang merupakan cabang dari kaedah besar ini. Diantaranya adalah:
Kaedah Pertama:
الضَرَرُ يُدْفَعُ بِقَدْرِ الْإِمْكَانِ
Sesuatu yang membahayakan harus diantisipasi semampunya
Kaedah Kedua:
الضَرَرُ يُزَالُ
Sesuatu yang membahayakan itu harus dihilangkan
Kaedah Ketiga
الضَرَرُ لَا يُزَالُ بِمِثْلِهِ
Sesuatu yang membahayakan itu tidak boleh dihilangkan dengan sesuatu yang membahayakan juga
Kaedah Keempat
إِذَا تَعَارَضَ مَفْسَدَتَانِ رُوْعِيَ أَعْظَمُهُمَا ضَرَرًا بِارْتِكَابِ أَخَفِّهِمَا
Apabila berbenturan antara dua hal yang membahayakan, maka harus dihilangkan madhorot yang paling besar meskipun harus mengerjakan madhorot yang lebih kecil
Kaedah Kelima
دَرْءُ الْمَفَاسِدِ أَوْلَى مِنْ جَلْبِ الْمَصَالِحِ
Menghilangkan kemadhorotan itu lebih didahulukan daripada mengambil sebuah kemashlahatan
(wallahu'alam)
0 komentar:
Posting Komentar
silahkan komentarnya jika ada link mati harap lapor. jazakumullah