Tauhid uluhiyah adalah menujukan segala macam ibadah hanya untuk Allah Subhanahu wa Ta’ala. Ibadah merupakan hikmah diciptakannya jin dan manusia. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْإِنْسَ إِلاَّ لِيَعْبُدُونِ
“Dan Aku tidaklah menciptakan jin dan manusia melainkan supaya
mereka beribadah kepada-Ku.” (Adz-Dzariyat: 56)
Karena demikian pentingnya masalah ini maka dakwah semua rasul
adalah dakwah kepada tauhid uluhiyah menyeru manusia untuk beribadah hanya
kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dan mengingkari sesembahan yang lain. Allah
Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
وَلَقَدْ بَعَثْنَا فِي كُلِّ أُمَّةٍ رَسُولاً أَنِ اُعْبُدُوا
اللهَ وَاجْتَنِبُوا الطَّاغُوتَ
Dan sesungguhnya Kami telah mengutus Rasul pada tiap-tiap umat
(untuk menyerukan): “Sembahlah Allah (saja) dan jauhilah thaghut.” (An-Nahl:
36)
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
وَمَا أَرْسَلْنَا مِنْ قَبْلِكَ مِنْ رَسُولٍ إِلَّا نُوحِي
إِلَيْهِ أَنَّهُ لَا إِلَهَ إِلَّا أَنَا فَاعْبُدُونِ
“Tidaklah Kami utus seorang rasulpun sebelum engkau kecuali
Kami wahyukan kepada-Nya bahwasanya tidak ada sesembahan yang haq kecuali Aku
maka beribadahlah kalian kepada-Ku.” (Al-Anbiya’: 25)
Asy-Syaikh Sulaiman berkata: “Tauhid uluhiyah adalah kewajiban
yang pertama dan terakhir dalam agama ini, batin dan lahirnya. Tauhid uluhiyah1
adalah awal dakwah para rasul.” (lihat Taisirul ‘Azizil Hamid, hal. 22)
Karena masalah uluhiyah ini adalah permasalahan yang paling
penting maka para ulama Ahlus Sunnah banyak membahas permasalahan ini. Bahkan
merupakan satu ciri dakwah Ahlus Sunnah adalah dakwah kepada tauhid uluhiyah.
Di antara sekian ulama Ahlus Sunnah yang banyak membahas
permasalahan ini adalah Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullahu. Dalam tulisan ini kami akan sebutkan sebagian kecil pandangan-pandangan
beliau tentang masalah uluhiyah.
Allah Subhanahu wa Ta’ala Menciptakan Kita untuk Beribadah
kepada-Nya
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullahu berkata:
“Sesungguhnya Allah Subhanahu wa Ta’ala menciptakan kita untuk beribadah
kepada-Nya, sebagaimana Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْإِنْسَ إِلاَّ لِيَعْبُدُونِ
‘Dan Aku tidaklah menciptakan jin dan manusia melainkan supaya
mereka beribadah kepada-Ku’.” (Adz-Dzariyat: 56) [Lihat Majmu’ Fatawa, 1/4]
Ibadah adalah Hak Allah Subhanahu wa Ta’ala atas Hamba-Nya
Syaikhul Islam rahimahullahu mengatakan: “Ketahuilah bahwasanya
ini adalah hak Allah Subhanahu wa Ta’ala atas hamba-Nya, yaitu hanya beribadah
kepada-Nya dan tidak menyekutukan-Nya dengan sesuatupun. Sebagaimana dalam
hadits shahih yang diriwayatkan Mu’adz radhiyallahu ‘anhu dari Nabi Shallallahu
‘alaihi wa sallam (yang maknanya):
“Apakah engkau tahu apa hak Allah atas hamba-Nya dan apa hak
hamba atas Allah?” Aku berkata: “Allah dan Rasul-Nya yang lebih tahu.” Beliau
berkata: “Hak Allah atas hamba-Nya adalah beribadah kepada-Nya dan tidak
menyekutukan-Nya dengan sesuatupun. Apakah kau tahu apa hak hamba atas Allah
jika mengamalkannya?” Aku katakan: “Allah dan Rasul-Nya lebih tahu.” Beliau
berkata: “Hak mereka tidak akan disiksa.” (Majmu’ Fatawa, 1/23)
Pengertian Ibadah
Syaikhul Islam rahimahullahu berkata: “Ibadah adalah satu nama
yang mencakup semua perkara yang Allah Subhanahu wa Ta’ala cintai dan Allah
Subhanahu wa Ta’ala ridhai baik berupa ucapan ataupun perbuatan yang nampak
ataupun yang tidak nampak.” (Majmu’ Fatawa, 10/149)
Beliau rahimahullahu juga berkata: “Ibadah adalah taat kepada
Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan melaksanakan perintah-Nya yang disampaikan
melalui para Rasul-Nya.”
Syarat Diterimanya Ibadah
Beliau rahimahullahu berkata: “Ibadah dibangun di atas syariat
dan ittiba’, bukan dengan hawa nafsu dan kebid’ahan. Karena Islam dibangun di
atas dua perkara:
1. Kita beribadah kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala saja tidak
menyekutukan-Nya dengan sesuatupun.
2. Kita beribadah kepada-Nya dengan syariat yang disyariatkan
melalui lisan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, bukan dengan hawa nafsu
dan kebid’ahan.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
ثُمَّ جَعَلْنَاكَ عَلَى شَرِيعَةٍ مِنَ الْأَمْرِ فَاتَّبِعْهَا وَلَا تَتَّبِعْ أَهْوَاءَ الَّذِينَ لَا يَعْلَمُونَ. إِنَّهُمْ لَنْ يُغْنُوا عَنْكَ مِنَ اللهِ شَيْئًا
“Kemudian Kami jadikan kamu berada di atas suatu syariat
(peraturan) dari urusan (agama itu). Maka ikutilah syariat itu dan janganlah
kamu ikuti hawa nafsu orang-orang yang tidak mengetahui. Sesungguhnya mereka
sekali-kali tidak akan dapat sedikitpun mengindarkan kamu dari siksaan Allah.”
(Al-Jatsiyah: 18-19)
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
لَهُمْ شُرَكَاءُ شَرَعُوا لَهُمْ مِنَ الدِّينِ مَا لَمْ يَأْذَنْ بِهِ اللهُ
“Apakah mereka mempunyai sembahan-sembahan selain Allah yang
mensyariatkan untuk mereka agama yang tidak diizinkan Allah?” (Asy-Syura: 21)
Tidak boleh seorangpun beribadah kepada Allah Subhanahu wa
Ta’ala kecuali dengan apa yang disyariatkan Rasul-Nya, baik perkara yang wajib
atau sunnah. Tidak boleh kita beribadah kepada-Nya dengan perkara-perkara
bid’ah.” (Majmu’ Fatawa, 1/80)
Beliau rahimahullahu berkata: “Agama Islam dibangun di atas dua
ushul (pokok): Beribadah kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala saja tidak
menyekutukan-Nya dengan sesuatupun; dan beribadah kepada-Nya dengan apa yang
telah disyariatkan melalui lisan Nabi-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam.”
(Majmu’ Fatawa, 1/365)
Ibadah Badan yang Paling Afdhal adalah Shalat
Beliau rahimahullahu berkata: “Ibadah badan yang paling mulia
adalah shalat, sedangkan ibadah harta yang paling mulia adalah berkurban. Apa
yang terkumpul bagi seorang hamba dalam shalat tidak terkumpul pada selainnya.
Dan apa yang terkumpul baginya dalam menyembelih kurban –jika disertai iman dan
keikhlasan– karena keyakinan kuat dan baik sangka merupakan perkara
menakjubkan. Oleh karena itu beliau (yakni Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam,
red.) adalah seorang yang banyak shalat dan banyak berkurban.” (Lihat Fathul
Majid hal. 126)
Siapakah Muwahhid?
Beliau rahimahullahu berkata: “Yang dimaksud dengan tauhid
bukanlah semata tauhid rububiyah, yaitu meyakini bahwa Allah Subhanahu wa
Ta’ala saja yang menciptakan alam, sebagaimana sangkaan ahlul kalam dan orang
sufi. Di mana mereka menyangka barangsiapa bisa menetapkan rububiyah dengan
dalil maka telah menetapkan puncak tauhid. Kalau mereka telah bersaksi dengan
tauhid ini dan mencurahkan segala upaya berarti dia telah mengorbankan dirinya
dalam puncak tauhid!
Karena, walaupun seseorang telah meyakini apa yang merupakan
hak Allah Subhanahu wa Ta’ala berupa sifat-sifat-Nya dan menyucikannya dari
yang disucikan dari-Nya serta meyakini bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala pencipta
segala sesuatu, dia belumlah dianggap sebagai muwahhid hingga bersaksi bahwa
tidak ada sesembahan yang haq kecuali Allah Subhanahu wa Ta’ala, meyakini bahwa
Allah Subhanahu wa Ta’ala satu-satunya yang berhak diibadahi, serta senantiasa
beribadah hanya kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. (Lihat Fathul Majid hal.
15-16)
Kewajiban Pertama
Beliau rahimahullahu berkata: “Telah diketahui dengan pasti
dalam agama rasul dan telah disepakati oleh umat, bahwa pokok Islam dan perkara
pertama yang seorang diperintah dengannya adalah bersaksi tidak ada sesembahan
yang haq selain Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa
sallam adalah utusan-Nya. Dengan inilah seorang yang kafir menjadi muslim,
musuh menjadi teman, orang yang halal darah dan hartanya menjadi terjaga….”
(Lihat Fathul Majid hal. 73)
Macam-Macam Syirik
Beliau rahimahullahu berkata: “Syirik ada dua macam: syirik
besar dan kecil. Barangsiapa bersih dari keduanya, maka wajib untuknya surga.
Barangsiapa mati dengan membawa syirik besar (tidak bertaubat darinya, pent.)
pasti masuk neraka.” (Lihat Taisir Al-’Azizil Hamid hal. 72)
Tidak Boleh Meminta Pertolongan kepada Selain Allah Subhanahu
wa Ta’ala
Para imam telah menegaskan –seperti Ahmad dan lainnya–
bahwasanya tidak boleh meminta perlindungan kepada makhluk. Ini di antara
perkara yang mereka jadikan dalil bahwa Al-Qur’an bukanlah makhluk. Mereka
berkata: “Telah shahih dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa beliau
minta perlindungan dengan kalimatullah dan beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam
memerintahkannya….” (Lihat Fathul Majid hal. 147)
Bahaya Sikap Ghuluw (Berlebihan dalam Mengagungkan)
Beliau rahimahullahu berkata: “Jika di zaman Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam ada orang-orang yang menisbatkan diri kepada
Islam namun lepas darinya padahal telah melakukan ibadah yang besar, ketahuilah
di zaman inipun ada orang yang menisbatkan dirinya kepada Islam dan As-Sunnah
namun lepas dari Islam karena beberapa sebab. Di antaranya, ghuluw terhadap
sebagian tokoh mereka. Bahkan ghuluw terhadap Ali bin Abu Thalib, bahkan kepada
Al-Masih ‘Isa q. Semua yang berbuat ghuluw kepada nabi atau orang shalih serta
mempersembahkan kepadanya satu macam ibadah, seperti berkata: “Wahai sayidku
fulan tolonglah aku”, “Hilangkanlah kesusahanku”, “Berilah rizki kepadaku”,
atau “Aku dalam jaminanmu”, dan semisalnya, semua ini adalah kesyirikan dan
kesesatan. Pelakunya diminta bertaubat. Jika tidak bertaubat maka dibunuh (oleh
pemerintah muslim karena telah terjatuh dalam kemurtadan, pent.).” (Lihat
Taisir Al-’Azizil Hamid hal. 182, Majmu’ Fatawa, 3/383)
Hukum Membangun Masjid di atas Kuburan
Beliau rahimahullahu berkata: “Adapun membangun masjid di atas
kuburan, semua kelompok telah menegaskan larangannya dengan merujuk
hadits-hadits yang shahih. Ulama mazhab Hambali dan selain mereka dari
murid-murid Al-Imam Malik dan Al-Imam Asy-Syafi’i rahimahumullah juga
menegaskan keharamannya.”
Kemudian beliau berkata: “Masjid-masjid yang dibangun di atas
kuburan para nabi dan orang shalih atau para raja dan selainnya harus
dibersihkan dengan merobohkannya atau dengan cara lainnya. Ini, yang saya tahu,
termasuk perkara yang tidak diperselisihkan kalangan para ulama yang terkenal.”
(Iqtidha Ash-Shirathil Mustaqim)
Mazhab Al-Imam Asy-Syafi’i rahimahullahu dalam masalah ini:
“Aku lebih cenderung kuburan tidak dibangun dan tidak dikapur (dicat).”
Kemudian beliau membawakan hadits: “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam
melarang kuburan dibangun atau dicat.”
Beliau rahimahullahu berkata: “Aku telah menyaksikan pemerintah
menghancurkan bangunan yang dibangun di atas kuburan dan perbuatan tersebut
tidak dicela para fuqaha ketika itu.” (Lihat Al-Umm)
Ibnu Hajar Al-Haitami rahimahullahu berkata –beliau adalah
seorang ulama mazhab Syafi’i–: “Wajib bersegera menghancurkan kuburan-kuburan
yang dibangun dan dijadikan masjid serta menghancurkan kubah-kubah yang berada
di atas kubur, karena hal itu lebih mengandung mudarat dari masjid dhirar.
Karena hal itu dibangun di atas maksiat kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi
wa sallam, di mana beliau telah melarangnya dan memerintahkan menghancurkan
kuburan-kuburan yang ditinggikan.” (Lihat Mukhalafah Ash-Shufiyah lil Imam
Asy-Syafi’i hal. 67-70)
Ibnul Qayyim rahimahullahu berkata: “Wajib merobohkan
kubah-kubah yang dibangun di atas kuburan, karena telah dibangun di atas
maksiat kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.” (Lihat Fathul Majid hal. 214)
Hukum Sembelihan untuk Selain Allah Subhanahu wa Ta’ala
Ketika menjelaskan ayat Allah Subhanahu wa Ta’ala:
وَمَا أُهِلَّ بِهِ لِغَيْرِ اللهِ
“Apa yang disembelih untuk selain nama Allah.” (Al-Baqarah:
173)
Syaikhul Islam rahimahullahu berkata: “Yang tampak dari ayat di
atas, apa yang disembelih untuk selain Allah Subhanahu wa Ta’ala seperti
dikatakan: sembelihan ini untuk ini. Jika ini yang dimaksudkan maka hukumnya
sama saja baik dia lafadzkan atau tidak. Haramnya sembelihan seperti ini lebih
jelas dari keharaman sembelihan untuk dimakan dan diucapkan ketika
menyembelihnya dengan nama Al-Masih atau lainnya.” (Fathul Majid, hal. 127-128)
Doa Ada Dua Macam: Doa Ibadah dan Doa Mas’alah (Permohonan)
Syaikhul Islam rahimahullahu berkata: “Semua doa ibadah
mengharuskan adanya doa permohonan, dan semua doa permohonan mengandung doa
ibadah.” (Fathul Majid hal. 150)
Asy-Syaikh Sulaiman Alu Syaikh menerangkan: “Doa permohonan
adalah meminta sesuatu yang bermanfaat bagi yang berdoa, baik untuk mendapatkan
satu manfaat yang diinginkan atau untuk dihilangkan darinya kesusahan. Adapun
doa ibadah adalah beribadah kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan berbagai
macam ibadah seperti shalat, sembelihan, nadzar, puasa, haji, dan lainnya
dengan rasa takut dan harap, mengharap rahmat-Nya dan takut akan azab-Nya,
walaupun tidak ada bentuk permintaan di dalamnya. Namun seseorang yang beribadah
(tentunya) menginginkan surga dan dijauhkan dari neraka, sehingga hakikatnya
dia seorang yang menginginkan sesuatu dan menjauhkan diri dari sesuatu. Jika
telah jelas hal tersebut, maka ketahuilah para ulama telah ijma’ bahwa
barangsiapa memalingkan sesuatu dari dua macam doa ini kepada selain Allah
Subhanahu wa Ta’ala, maka dia adalah seorang yang musyrik.” (Taisir Al-’Azizil
Hamid dengan ringkas, hal. 170 dan 181)
Hukum Menetapkan Perantara dengan Bertaqarub kepada-Nya
Syaikhul Islam rahimahullahu berkata: “Barangsiapa membuat
perantara antara dirinya dengan Allah Subhanahu wa Ta’ala sehingga bertawakal
dan berdoa serta memohon kepada perantara tersebut, maka dia telah kafir
berdasarkan ijma’. Dinukil ijma’ ini oleh banyak ulama, di antara mereka Ibnu
Muflih dalam Al-Furu’, penulis Al-Inshaf, penulis Al-Ghayah dan Al-Iqna’, serta
pensyarah selain mereka.” (Taisir Al-’Azizil Hamid hal. 182-183, lihat Fatawa
Kubra)
Asy-Syaikh Sulaiman berkata: “Itu adalah ijma’ yang shahih dan
diketahui dalam syariat dengan pasti. Para ulama mazhab yang empat menegaskan
dalam hukum murtad bahwa barangsiapa yang berbuat syirik berarti dia telah
kafir.” (Taisir Al-’Azizil Hamid hal. 183)
Mencium Tanah dan Membungkuk
Syaikhul Islam rahimahullahu berkata: “Adapun mencium tanah,
mengangkat kepala dan sejenisnya, layaknya gerakan sujud yang dilakukan di
hadapan sebagian tokoh dan pemimpin, tidaklah diperbolehkan (dalam syariat,
pent.). Bahkan tidak boleh membungkuk seperti keadaan ruku’. Sebagian sahabat
berkata kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam: “Seorang bertemu dengan
temannya, apakah (perlu) membungkuk kepadanya?” Beliau berkata: “Jangan.”
(Majmu’ Fatawa, 1/372)
Beliau berkata juga: “Membungkuk ketika memberi penghormatan
kepada orang lain termasuk hal yang dilarang. Sebagaimana dalam riwayat
At-Tirmidzi dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, mereka berkata kepada
beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam: “Seseorang bertemu dengan temannya,
apakah (perlu) membungkuk kepadanya?” Beliau berkata: “Jangan.”
Juga karena ruku’ dan sujud tidak boleh dilakukan kecuali untuk
Allah Subhanahu wa Ta’ala, walaupun dalam syariat selain kita adalah bentuk
penghormatan, sebagaimana dalam kisah Yusuf ‘alaihissalam:
وَخَرُّوا لَهُ سُجَّدًا وَقَالَ يَاأَبَتِ هَذَا تَأْوِيلُ رُؤْيَايَ مِنْ قَبْلُ
“Merekapun merebahkan diri seraya sujud kepadanya dan berkata:
‘Wahai bapakku, ini adalah takwil mimpiku dulu’.” (Yusuf: 100)
Akan tetapi dalam syariat kita tidak dibolehkan sujud kecuali
kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala....” (Majmu’ Fatawa, 1/377)
Demikianlah sekelumit pandangan-pandangan seorang alim Ahlus
Sunnah, yang kemudian ucapan-ucapan beliau ini dijabarkan oleh para ulama Ahlus
Sunnah setelah beliau rahimahullahu. Semoga apa yang kami paparkan ini
bermanfaat bagi kita semua. Amin.
0 komentar:
Posting Komentar
silahkan komentarnya jika ada link mati harap lapor. jazakumullah