Oleh : Andian Husaini
Aloysius menulis bahwa ribuan
tahun silam – sebelum Jokowi -- Jesus memang punya hobi blusukan.
Kehadiran-Nya di dunia sebagai “Sang Sabda yang menjadi manusia dan
tinggal di antara kita” (Yohanes 1:14) sudah merupakan blusukan perdana.
Blusukan itulah yang disebut penjelmaan Sang Sabda menjadi manusia.
Itulah teologi inkarnasi.
Masih menurut Aloysius, dalam
perspektif iman Kristiani, Jesus disebut “Putra Allah yang Mahatinggi”,
yang sejak awal mula bersama-sama dengan Allah dalam kesatuan kasih
mesra. Namun karena begitu besar kasih Allah terhadap dunia, Allah
berkenan mengutus Putra yang tunggal ke dunia agar setiap orang yang
percaya kepada-Nya beroleh hidup kekal (bandingkan Yohanes 3:16).
Percaya kepada-Nya tentu saja tidak boleh dipahami saklek harus menjadi
Kristiani dan dibaptis formal.
“Karl Rahner berterminologi yang disebut baptis batin, yakni
semua orang yang menerima keberadaan-Nya dan percaya Dialah Sang
Juruselamat, mewujudkan sikap itu dalam setiap tindakan baik, benar, dan
suci. Konsili Vatikan II, melalui dokumen Lumen Gentium (LG) dan Nostra
Aetate (NA) menegaskan, Katolik tidak menolak apa pun yang serba benar,
baik, dan suci, yang ada dalam setiap agama dan kebudayaan sebagai hal
yang tidak berlawanan dengan Jesus Kristus (bandingkan LG 16 dan NA 2),” tulis Aloysius.
Begitulah opini yang dikembangkan Aloysius.
Menarik membaca tulisan Aloysius itu, bahwa pengertian percaya kepada
Yesus sebagai Putra yang tunggal itu tidak harus menjadi Kristiani dan
dibaptis secara formal. Ia mengenalkan istilah “baptis batin” yang
katanya disebutkan oleh teolog Jerman Karl Rahner. Tidak jelas benar
apa yang dimaksudkan oleh Aloysius dengan “babtis batin”. Sebab, Karl
Rahner sendiri dikenal dengan gagasannya tentang “anonymous
Christianity” (Kristen tanpa nama). Bahwa, orang-orang yang belum
mengenal Jesus dapat dikategorikan sebagai “Kristen” tapi “tanpa nama”,
meskipun mereka sudah memeluk agama tertentu. Hanya saja, Rahner
berpendapat, bahwa agama orang-orang itu tidak sah lagi jika misi
Kristen sudah sampai pada mereka dan Bibel diterjemahkan ke dalam bahasa
mereka.
“Once a religion really confronts the gospel – once the gospel is
translated into the new culture and embodied in community – than that
religion loses its validity,” tulis Karl Rahner seperti dikutip Paul F.
Knitter dalam bukunya, No Other Name? A Critical Survey of Christian
Attitudes toward the World Religion (London: SCM Press Ltd., 1985).
Jadi, dalam perspektif teologi inklusif model Karl Rahner, setelah
agama Kristen disebarkan ke Indonesia, maka agama-agama selain Kristen
sudah tidak sah lagi.
Dalam artikelnya, Aloysius juga menyebut, bahwa tokoh Hindu Mahatma
Gandhi sangat mengagumi Jesus dan mengasihi-Nya. Ditulis oleh Aloysius: “Jesus
Kristus itu unik sekaligus universal. Tak heran tokoh Hindu dan
pemimpin India bernama Mahatma Gandhi sangat mengagumi Jesus dan
mengasihi-Nya, terutama dengan ajaran ahimsa, mengasihi musuh. Tokoh
politis India tersebut sangat menghayati sabda bahagia yang menjadi
bagian dari khotbah di bukit yang disampaikan Jesus dan dicatat dalam
Injil.”
Benarkah Mahatma Gandhi bersikap simpatik terhadap Jesus seperti yang
ditulis Aloysius itu? Tahun 2012, penerbit Media Hindu, menerbitkan
buku berjudul “Dialog Gandhi dengan Missionaris tentang Kristen dan Konversi”. Buku ini aslinya berjudul “Gandhi on Christianity” (Maryknoll New York: Orbis Books, 1991). Buku ini memaparkan sikap kritis Gandhi terhadap kepercayaan kaum Kristen pada Jesus:
“Saya menganggap Yesus sebagai seorang guru besar kemanusiaan, tapi saya tidak menganggap
dia sebagai satu-satunya anak yang dilahirkan Tuhan. Julukan itu dalam
penafsiran materialnya tidak dapat diterima. Secara kiasan kita semua
adalah anak-anak yang dilahirkan Tuhan, tapi untuk masing-masing kita
mungkin ada anak-anak lain yang dilahirkan Tuhan dalam pengertian
khusus... Saya percaya dengan kesempurnaan untuk menjadi sempurna dari
hakikat manusia. Yesus telah menjadi sedekat mungkin pada kesempurnaan
itu. Mengatakan bahwa dia sempurna sama dengan menolak superioritas
Tuhan atas manusia... Saya juga tidak memerlukan ramalan-ramalan dan
keajaiban-keajaiban untuk mengakui kebenaran Yesus sebagai seorang guru.
Tidak ada yang lebih ajaib dari tiga tahun kependetaannya, “Tidak ada
keajaiban dalam sejarah manusia yang dihidupi dengan segenggam roti.
Seorang tukang sulap dapat membuat ilusi (tipuan pandang) semacam itu.
Tapi terkutuklah hari ketika seorang pesulap dihormati sebagai
penyelamat kemanusiaan.” (hal. 124-125).
Tentang keselamatan universal – baik bagi yang percaya atau yang tidak percaya kepada Ketuhanan Jesus -- Aloysius menulis: “Blusukan-Nya
mendatangkan keselamatan universal bagi semua orang, yang mengimani
Dia, maupun yang tidak mengimani-Nya, bahkan yang memusuhi-Nya. Itu
karena Ia pun berdoa bagi orang-orang yang menyalibkan-Nya agar diampuni
Allah, yang disebut-Nya Bapa, sebab mereka tidak tahu yang mereka
perbuat (Lukas 23:34 dan paralelnya).”
Membaca tulisan Aloysius tersebut,
kita dapat bertanya, benarkah orang yang tidak mengimani Yesus juga
mendapatkan keselamatan, sebagaimana digambarkan oleh Pastor Aloysius?
Masalah keselamatan universal ini telah menyita perdebatan panjang dalam
internal Kristen. Benarkah ada keselamatan di luar gereja Katolik? Jika
memang ada, untuk apa Gereja Katolik memerintahkan kaum Katolik untuk
menjalankan misinya agar percaya kepada Yesus.
Dalam artikelnya, Aloysius mengenalkan diri sebagai “rohaniwan”, budayawan interreligius, dan Wakil Ketua FKUB Jawa Tengah.
Sebagai rohaniwan Katolik, Aloysius tetunya sangat paham tentang
perdebatan seputar wacana “keselamatan di luar gereja Katolik”.
Sebelumnya, Gereja berpegang pada doktrin “extra ecclesiam nulla salus” (di
luar Gereja tidak ada keselamatan). Kemudian, Konsili Vatikan II
(1962-1965), menetapkan satu dokumen Nostra Aetate yang bersifat cukup
simpatik terhadap agama lain, termasuk Islam. Tetapi, sejumlah dokumen
Konsili Vatikan II juga mempertahankan sikap eksklusifitasnya dalam soal
keselamatan.
Dekrit ‘ad gentes’ mewajibkan aktivitas misi Katolik ke seluruh umat manusia: “Therefore,
all must be converted to Him, made known by the Church's preaching, and
all must be incorporated into Him by baptism and into the Church which
is His body… And hence missionary activity today as always retains its
power and necessity.”(Karena itu, haruslah semua orang
dikonversikan kepada Dia, Yang dikenal lewat misi Gereja; semua manusia
harus menjadi anggota Dia dan Anggota Gereja dengan pembaptisan, yang
adalah Tubuhnya... Oleh sebab itu, aktivitas misi Kristen dewasa ini
senantiasa tetap mempunyai kekuatannya dan tetap dibutuhkan).
Tahun 1990, induk Gereja Katolik di
Indonesia, yaitu KWI (Konferensi Waligereja Indonesia) menerjemahkan
dan menerbitkan naskah imbauan apostolik Paus Paulus VI tentang Karya
Pewartaan Injil dalam Jaman Modern (Evangelii Nuntiandi), yang
disampaikan 8 Desember 1975, yang menyebutkan: “Pewartaan pertama
juga ditujukan kepada bagian besar umat manusia yang memeluk agama-agama
bukan Kristen….Agama-agama bukan kristen semuanya penuh dengan
“benih-benih Sabda” yang tak terbilang jumlahnya dan dapat merupakan
suatu “persiapan bagi Injil” yang benar... Kami mau menunjukkan,
lebih-lebih pada zaman sekarang ini, bahwa baik penghormatan maupun
penghargaan terhadap agama-agama tadi, demikian pula kompleksnya
masalah-masalah yang muncul, bukan sebagai suatu alasan bagi Gereja
untuk tidak mewartakan Yesus Kristus kepada orang-orang bukan Kristen.
Sebaliknya Gereja berpendapat bahwa orang-orang tadi berhak mengetahui
kekayaan misteri Kristus.”
Dalam pidatonya pada 7 Desember 1990, yang bertajuk Redemptoris
Missio (Tugas Perutusan Sang Penebus), yang diterbitan KWI tahun 2003,
Paus Yohanes Paulus II mengatakan: “Tugas perutusan Kristus Sang
Penebus, yang dipercayakan kepada Gereja, masih sangat jauh dari
penyelesaian. Tatkala Masa Seribu Tahun Kedua sesudah kedatangan Kristus
hampir berakhir, satu pandangan menyeluruh atas umat manusia
memperlihatkan bahwa tugas perutusan ini masih saja di tahap awal, dan
bahwa kita harus melibatkan diri kita sendiri dengan sepenuh
hati…Kegiatan misioner yang secara khusus ditujukan “kepada para bangsa”
(ad gentes) tampak sedang menyurut, dan kecenderungan ini tentu saja
tidak sejalan dengan petunjuk-petunjuk Konsili dan dengan
pernyataan-pernyataan Magisterium sesudahnya.”
Menyimak sejumlah dokumen Gereja
Katolik tentang kewajiban menjalankan misi Kristen untuk membaptis
seluruh manusia, maka patut ditanyakan, apakah dukungan kaum Kristen
kepada Jokowi merupakan bagian dari aktivitas misi tersebut? Bisanya,
agak berbeda dengan kaum Kristen evangelis yang menyampaikan misi dengan
“vulgar”, Geraja Katolik menjalankan misinya dengan halus melalui
program akulturasi atau kemanusiaan.
Jadi, apa sebenarnya misi kaum Kristen yang secara menggebu-gebu mendorong Jokowi sebagai calon Presiden RI? Wallahu a’lam.
Jokowi akan dikorbankan?
Aloysius menulis: “Jesus
menjadi tokoh ideal yang berpraksis bela rasa dan solider kepada korban,
bukan kepada penguasa dan pemilik modal. Itulah buah teologi blusukan
dan praksis dari pastoral blusukan Jesus. Akibatnya, Jesus dijatuhi
hukuman mati, bahkan dianggap pemberontak. Tanda-tanda mukjizat dan
buah-buah pastoral blusukan-Nya tidak dianggap. Dia justru dituduh
menggunakan ilmu sihir dan menyesatkan rakyat. Begitulah, para pemuka
agama dan politikus busuk yang memusuhi-Nya kemudian bersekongkol dengan
prokurator Romawi bernama Pontius Pilatus. Jesus dijatuhi hukuman
mati.”
Bagi kaum Kristen, babak terpenting
dari episode kehidupan Jesus adalah penyaliban dan kebangkitan Jesus.
Itulah inti agama Kristen (Christianity). Tidak ada agama Kristen tanpa adanya konsep penyaliban dan kebangkitan (crucifixion and resurrection)
Jesus. Maka, kita patut bertanya, jika Jokowi disamakan dengan Jesus
dalam perspektif Kristen, apakah pada akhirnya Jokowi juga akan
“disalib” dan “dikorbankan” demi “menebus dosa kaum tertentu”?
Kaum Katolik Indonesia mengaku memiliki “syahadat” versi Katolik yang bunyinya: “Kami
percaya pada satu Allah, Bapa Yang Mahakuasa, Pencipta segala yang
kelihatan maupun yang tidak kelihatan. Dan pada satu Tuhan Yesus
Kristus, Putra Allah, Putra Tunggal yang dikandung dari Allah, yang
berasal dari hakikat Bapa, Allah dari Allah, terang dari terang, Allah
benar dari Allah Benar, dilahirkan tetapi tidak diciptakan, sehakikat
dengan Bapa, melalui dia segala sesuatu menjadi ada…” (Lihat buku, Konsili-konsili Gereja karya Norman P. Tanner, hal. 36-37)
Jokowi adalah muslim. Bahkan, sudah menunaikan ibada haji. Sebagai
Muslim, ia sudah bersaksi, bahwa “Tidak ada Tuhan selain Allah, dan
Muhammad adalah utusan Allah.” Jokowi pasti yakin, Allah tidak punya
anak dan tidak diperanakkan. Ia juga yakin akan kebenaran al-Quran, yang
menjelaskan bahwa Jesus (Isa a.s.) adalah manusia, seorang Nabi. Jesus
bukan Tuhan atau anak Tuhan. Bahkan al-Quran dengan tegas menyatakan: “Sungguh
telah kafirlah orang-orang yang mengatakan, bahwa Allah itu sama dengan
Isa Ibnu Maryam. Padahal, al-Masih Isa Ibnu Maryam berkata, wahai Bani
Israil sembahlah Allah, Tuhanku dan Tuhan kalian. Sesungguhnya siapa
yang menserikatkan Allah maka Allah akan mengharamkan sorga baginya, dan
tempatnya di neraka. Dan orang-orang zalim itu tidak akan mendapatkan
pertolongan.” (QS 5:72).
Juga, disebutkan dalam al-Quran, sungguh kafirlah orang-orang yang
mengatakan bahwa Isa adalah salah satu dari yang tiga (QS 5:73). Allah
juga murka karena dituduh punya anak. Orang yang menuduh Allah punya
anak, sungguh telah melakukan kejahatan besar di mata Allah (QS
19:88-91). Al-Quran pun membantah bahwa Nabi Isa a.s. telah mati di
tiang salib. Tidak ada bukti yang meyakinkan tentang itu. (QS 4:157, QS
18:4-5). Menuduh Allah punya anak atau punya sekutu adalah tindakan
syirik, dosa terbesar dalam pandangan Islam. Karena itu syirik disebut
sebagai “kezaliman besar”. (QS 31:13). Nabi Muhammad saw ditugaskan
oleh Allah untuk mengajak kaum Kristen agar mereka kembali kepada “satu
kata” yang sama, yaitu hanya menyembah Allah dan tidak menyekutukan
Allah dengan apa pun juga (misi Tauhid) (QS 3:64).
Dalam perspektif Islam, menyamakan antara Jesus dengan Jokowi bisa
dikatakan “sangat keliru” dan “sangat berlebihan”. Kaum Muslim
Indonesia tentu berharap, Haji Jokowi tidak mau “disalib” dan
“dikorbankan” untuk dinobatkan sebagai juru selamat kaum tertentu di
Indonesia. Tapi, itu terpulang kepada Pak Haji Jokowi, karena beliau
sendiri yang akan bertanggung jawab kepada Allah: apakah ikut berjuang
memperkuat misi seluruh Nabi dalam menegakkan Tauhid dan Rahmatan
lil-alamin atau mendukung dan memperkuat kesesatan dan kemusyrikan di
negeri tercinta ini. Sebagai rakyat, kita hanya menyampaikan taushiyah,
hanya sekedar mengingatkan. Wallahu a’lam bish-shawab.