Jika dalam agama lain seorang pertapa, mungkin saja dalam islam adalah istilah sufi mendekati sejenis pertapa itu. Sesegera seseorang mendengar ‘tasawuf’ atau ‘sufi’, maka yang terbayang adalah sosok
manusia yang serius, kalau tak malah murung, tak banyak bergaul dan cenderung menyendiri,
berpakaian seadanya serta hidup serba kekurangan, dan menghabiskan waktu-waktunya untuk
melakukan ibadah (mahdlah). Mungkin, akarnya bisa kita runut dari konsep zuhud – yang
memang merupakan salah satu kunci dalam tasawuf.
Zuhud, oleh sekelompok Muslim memang sempat diartikan sebagai asketisme. Asketisme pada
mulanya merupakan suatu sikap biarawan atau rahib-rahib yang menyangkal kehidupan dunia
dengan harapan bisa menyucika diri dan kemudian bisa bertemu dengan Tuhan. Pemahaman
seperti ini biasanya ditunjang oleh perujukan dan pemahaman – khas terhadap hadis-hadis
tertentu yang mengesankan anjuran untuk merendahkan kehidupan dunia.
Salah atunya yang
popular-dikutip juga oleh Imam Ghazali dalam Ihya ‘Ulm Al-Din-adalah sebagai berikut:
Suatu saat Rasulullah Saaw. Diriwayatkan sedang berjalan sedang berjalan para sahabatnya.
Sampai di suatu tempat Rasulullah menunjuk kepada seonggokan benda. “Apa it?” tanya
Rasulullah kepada sahabatnya. “Bangkai anjing ya, Rasulullah,” “Bagaiman sikap kalian
terhadapnya?” “Kami merasa jijik,” jawab sahabat. Maka, Rasulullah pun bersabda, “Begitulah
seharusnya sikap seorang Mukmin terhadap dunia.”
Konsep zuhud yang diidentikkan asketisme seperti ini pada gilirannya melhirkan konsep lain,
yaitu faqr (kefakiran), dalam makna yang praktis pula. Bahwa untuk bisa mendekat atau
bertemu dengan Allah Swt. kita harus hidup seperti orang fakir. Di Anak Benua India,
khususnya, dapat ditemui darwis-darwis yang menjalani pola kehidupan seperti ini. Mereka
beranggapan bahwa, dengan menjadi peminta-minta, orang merasa diri tidak punya apa-apa
dan hina. Dengan demikian, ia mengharapkan akan makin merasakan kebutuhan kepada Allah
Yang Mahacukup.
Banyak ahli mengaitkan fenomena di atas dengan distorsi ajaran-ajaran Islam tentang zuhud
oleh konsep-konsep tertentu dalam agama Hindu. Dalam ajaran Indu terdapat konsep Samsara
yang diterjemahkan dalam bahasa Indonesia menjadi ‘sengsara’. Dalam penafsiran tertentu
konsep ini, orang – sebelumnya akhirnya kembali dan bertemu dengan Tuhan – harus melewati
taraf hidup sengsara melalui berbagai tahap reinkarnasi.
Bagaiman sesungguhnya zuhud harus dipahami?
Zuhud memang merupakan salah satu konsep kunci tasawuf. Secara etimologis, kata ini
berasal dari akar kata za-ha-da, bermakna menahan diri (dari sesuatu yang hukum aslinya
mubah). Anjuran berzuhud dalam bertasawuf dilatarbelakangi oleh kayakinan kalangan ini
bahwa manusia cenderung terlalu menikmati hal-hal keduniaan yang mubah sehingga,
ujung-ujungnya, ia akan terjerumus ke sikap berlebihan. Imam Ghazali, dalam bukunya yang
berjudul Kimiyai Sa’adah, mencontohkan penolakan Sayidina Umar untuk memakai wewangian
karena khawatir terjerumus ke dalam sikap terlalu mencintai barang ini.
Sayangnya praktik wara’ seperti ini belakangan berkembang pada sikap penolakan terhadap
dunia dan kesenangan-kesenangannya. Orang-orang semacam ini barangkali berpikiran
bahwa dengan membunuh kecenderungan badannya terhadap kesenangan-kesenangan
duniawi maka potensi ruhaniah mereka akan bisa berkembang penuh. Padahal, dalam
penafsiran yang lain, Islam tidak pernah menghadapkan aspek duniawi dan badani manusia
dengan aspek ruhani dan ukhrawi. Bukan hanya karena perkembangan ruh butuh kepada
kesejahteraan hidup keduniaan – baik fisik maupun psikologis. Lebih dari itu, kehidupan dunia –
jika diperlakukan secara benar – adalah wahana kita untuk dapat meraih kebahagiaan di
akhirat.
Mungkin ujaran sufi Syihabuddin Umar Al-Suhrawardi dalam buku klasiknya Awarif Al-Maarif,tentang cirri-ciri seorang faqir atau sufi, berikut ini dapat mengungkapkan secara tepat kesinambungan yang subtil antara zuhud dan penerimaan terhadap kesenangan-kesenangan duniawi yang proporsional:
“(Seorang faqir atau sufi) mesti meninggalkan gagasan tentang kepemilikan duniawi, hidup
dalam keserasian dengan saudara-saudaranya…Dermawan dan terus awas mengenai ucapan
Nabi Saaw.: ‘Berilah siapa saja, yang meminta (sedekah), meski ia datang naik kuda,’ ramah
dan santun, berwatak pertengahan…: selalu menampilkan wajah yang penuh senyum:
menerapkan keadilan yang setinggi-tingginya terhadap saudara-saudaranya…: memelihara
keseimbangan yang pas antara zuhud yang berlebihan dan hidup terlalu enak.”
Mengenai soal ini, dalam suatu kalimat yang lugas, Rasulullah menyatakan, dunia adalah
lading (mazra’ah) untuk akhirat. Untuk menjelaskan sabda Nai Saaw. ini, baiklah saya
kutipkabn kata-kata hikamh Amir AL-Mukminin ‘Ali ibn Abi Thalib, khlaifah yang biasa digelari
Penghulu Orang-Orang Miskin (Imam Al-Masakin), yang kepadanya hampir semua silisilah
tarekat tasawuf bersumber:
“Sesungguhnya dunia ini adalah rumah kebenaran bagi orang-orang yang menelitinya secara
cermat, dan mendalam, suatu tempat tinggal yang penuh dengan kedamaian dan kerehatan
bagi orang-orang yang memahaminya, dan yang terbaik sebagai lahan bagi orang-orang yang
ingin mengumpulkan bekal bagi kehidupan akhirat. Inilah tempat untuk mencari ilmu dan
hikmah bagi orang-orang yang ingin meraihnya, tempat beribadah bagi sahabat-sahabat Allah
dan bagi para malaikat. Inilah tempat yang di dalamnya para nabi menerima wahyu dari Sang
Rabb.
Inilah pula tempat bagi para wali Allah untuk menyelenggarakan amal-amal baik dan
untuk meraih imbalan yang setimpal; hanya di dunia ini mereka bisa berdagang dan
memperoleh rahmat Allah, dan hanya ketika hidup di sini mereka bisa menukar amal-amal baik
mereka dengan surga. Nah, setelah itu semua, masihkah yang akan bicara tentang keburukan
dunia ini?”
0 komentar:
Posting Komentar
silahkan komentarnya jika ada link mati harap lapor. jazakumullah