“Maka kecelakaanlah bagi orang-orang yang shalat, (yaitu) orang-orang yang lalai dari shalatnya, (yaitu) orang-orang yang menampak-nampakan (riya).” (QS. Al-Maa’uun, 107: 4-5).
Ayat: “Maka kecelakaanlah bagi orang-orang yang shalat, (yaitu) orang-orang yang lalai dari shalatnya,” menurut Ibnu Abbas ra dan yang lainnya berkata, ‘Yakni orang-orang munafik yang melaksanakan shalat secara terang-terangan, namun tidak mau melaksanakan ketika tidak dilihat manusia.
[1] Imam Ibn Katsir mengatakan, karena itulah Allah swt berfirman, bahwa kecelakaan itu, “Bagi orang-orang yang shalat.” Yaitu mereka melaksanakan shalat dan konstsiten melaksanakannya, kemudian mereka lalai dari shalatnya. Baik lalai dari melaksanakannya secara keseluruhan, sebagaimana yang dikatakan Ibnu Abbas ra, maupun lalai dari melaksanakannya pada waktu yang sudah ditetapkan secara syar’i, sehingga dia melaksanakan shalatnya di luar waktu yang semestinya secara keseluruhan, sebagaimana yang dikatakan oleh Masruq dan Abudh Dhuha.
[2] Ibnu Katsir berkata: Lalai di sini mencakup 1) Lalai dengan tidak mengerjakan di awal waktu, sehingga mereka selalu atau sering menunda-nundanya sampai akhir waktu. 2) Lalai dengan tidak melaksanakan rukun-rukun dan syarat-syaratnya, menurut cara yang telah ditetapkan.
[3] 3) Lalai dengan tidak menjaga kekhusyu’an dalam shalat. 4) Lalai dengan tidak merenungkan
[4] bacaan-bacaan shalat.
[5] Menurut Ibnu Katsir, orang yang memiliki salah satu sifat dari sifat-sifat lalai tersebut di atas, maka ia mendapatkan bagian dari ayat tersebut. Dan orang yang memiliki semua sifat tersebut di atas, maka sungguh lengkaplah bagiannya dari ayat tersebut dan sempurnahlah sifat kemunafikannya. Ini sebagaimana hadis yang diriwayatkan oleh Imam Muslim bahwa Rasulullah saw bersabda:
“Demikian itulah shalat orang munafik. Demikianlah itulah shalat orang munafik. Demikian itulah shalat orang munafik. Ia duduk
[6] mengamati matahari. Sampai sampai pada saat matahari berada di antara dua tanduk syaitan, maka (barulah) ia bangkit melaksanakan shalat ‘Ashar lalu mematuk-matuk
[7] empat rakaat. Ia tidak mengingat Allah dalam (shalat)nya kecuali sedikit.”
[8] Sedangkan ayat “(yaitu) orang-orang yang menampak-nampakan (riya).” Imam Ibnu Katsir mengatakan, barangkali alasan yang mendorongnya menunaikan shalat agar dilihat oleh orang lain (riya), bukan karena mencari ridha Allah swt, sehingga ia sama saja dengan orang yang tidak shalat secara keseluruhan.
Allah swt berfirman:
“Sesungguhnya orang-orang munafik itu menipu Allah, dan Allah akan membalas tipuan mereka. Dan apabila mereka berdiri untuk shalat mereka berdiri dengan malas. Mereka bermaksud riya (dengan shalat) di hadapan manusia. Dan tidaklah mereka menyebut Allah kecuali sedikit sekali.”(QS. An-Nisaa, 4: 142).
Imam Ahmad meriwayatkan dari Amr bin Murrah, ia berkata, “Kami sedang duduk bersama Abu Ubaidah, mereka menyinggung riya’. Lalu seorang laki-laki ber-kun-yah (nama panggilan) Abu Yazid berkata, “Aku mendengar Abdullah bin Amr mengatakan bahwa Rasulullah saw bersabda:
“Barangsiapa yang memperdengarkan amalnya di hadapan orang lain, maka Allah akan memperdengarkan amalnya di hadapan pendengar (dari kalangan) mahluk-Nya. Dan Dia akan merendahkan dan menghinakannya.”
[9] Dari tafsir ayat Al-Quran di atas yang berbunyi “Maka kecelakaanlah bagi orang-orang yang shalat, (yaitu) orang-orang yang lalai dari shalatnya,” maka jika dicermati tidak ada ulama tafsir baik dari kalangan sahabat sampai para ulama sesudah mereka, menafsirkan kata ‘lalai dari shalatnya’ dengan makna maksudnya, ‘yaitu meninggalkan shalat.” Justru kata ‘lalai’ di sini dimaknai orang yang tetap mengerjakan shalat, namun lalai dalam waktunya, rukunnya, khusyunya, dan tidak merenungkan bacaan shalat. Karena jika seseorang meninggalkan shalat, maka dia dicap murtad. Alhamdulillah, tema ini telah dibahas berikut ini: (simaklah episode ke-empat berikut….)
[1] Sahih Tafsir Ibnu Katsir, Surat Al-Maa’uun, ayat 4-6. Jilid 9, hal. 725. [Ibnu Katsir nukil dari Tafsir Ath-Thabari].
[2] Sahih Tafsir Ibnu Katsir, Surat Al-Maa’uun, ayat 4-6. Jilid 9, hal. 726. [Ibnu Katsir nukil dari Tafsir Ath-Thabari].
[3] Yaitu tidak shalat sebagaimana Rasulullah saw shalat. Baik bacaan maupun gerakan. Pembaca jika ingin mencaritahu apakah shalatnya sesuai dengan shalat Rasulullah saw ataukah tidak, maka dapat merujuk pada buku-buku sifat shalat Rasulullah saw seperti yang ditulis Syaikh Al-Bani atau ulama-ulama Ahlu Sunnah lainnya. Atau bisa langsung merujuk pada Kitab Sahih Bukhari dan Muslim. Anjuran ini perlu kami sampaikan, karena shalat yang biasanya kita lakukan diperoleh melalui kebiasaan orang-tua, sedangkan orang-tua juga mengikuti kebiasaan yang dulu, dan semua yang dulu tidak belajar langsung dari sumbernya, melainkan hanya mendengar dari orang. Sementara Islam masuk di Indonesia dengan ajarannya namun disampaikan tidak sempurna. Karena masih dipengaruhi oleh budaya Indonesia yang tercampur dengan agama.
[4] Tapi justru memikirkan pekerjaannya, kesibukannya, atau sesuatu yang berkaitan dengan dunianya.
[5] Sahih Tafsir Ibnu Katsir, Surat Al-Maa’uun, ayat 4-6. Jilid 9, hal. 726. [Ibnu Katsir nukil dari Tafsir Ath-Thabari].
[6] [Yakni belum bangkit melakukan shalat [Sahih Tafsir Ibnu Katsir].
[7] [Yakni shalat tergesah-gesah tanpa thumanina (ketenangan), bagai burung mematuk makanannya].
[8] HR Muslim No.1412. [Di dalam catatan kaki Sahih Tafsir Ibnu Katsir hadis ini ditulis bernomor 622. [Adapun lafas di hadis di atas adalah kami nukil dari Kitab sahih Tafsir Ibnu Katsir. Sedangkan kami mendapati terjemahan hadis ini pada Kitab Sahih Muslim dengan Penerbit Almahira Indonesia adalah sebagai berikut: “Dari al-Ala’ Bin Abdurrahman bahwa dia pernah menemui Anas bin Malik ra di kediamannya di Bashrah sesusai shalat Zuhur. Rumah Anas terletak di samping masjid. Ketika kami masuk rumahnya, Dia bertanya, “Sudahkan engkau shalat Ashar?” Kami menjawab, “Baru saja kami selesai sahalat Zuhur.” Dia berkata, “Kalau begitu shalat ashar!” Kami pun berdiri lalu shalat. Ketika kami selesai shalat, dia berkata, “Aku mendengar Rasulullah saw bersabda: “(Yang seperti) itu adalah shalatnya orang munafik. Dia duduk sambil memantau (menunggu) matahari berada di dua tanduk setan barulah dia shalat empat rakaat dengan tergesa dan hanya sedikit sekali mengingat Allah.” Hadis ini di penerbit Alhamirah yang mengambil dari penerbit Darussalam Riyadh, bernomor 1412. Sahih Tafisr Ibnu Kastir yang kami gunakan sebagai referensi adalah terbitan Pustaka Ibnu Katsir Indonesia, yang menerjemahkan dari Penerbit Darussalam Riyadh. Sedangkan Penerbit Almahira belum mencatumkan asal penerbit yang dijadikan patokan terjemahannya. Almahira hanya menulis sistem penomoran berdasarkan Penerbit Darussalam Riyadh.
[9] Musnad Imam Ahmad (II/212). [Ahmad (6509), sanadnya sahih di atas syarat asy-Syaikhan. Lihat Musnad Imam Ahmad, tahqiq Syaikh Syuaib al-Arna’uth dan kawan-kawan, cetakan Mus-assasah ar-Risalah, Beirut]. Catatan kaki ini milik Sahih Tafsir Ibnu Katsir– Surat Al-Maa’uun, ayat 4-6. Jilid 9, hal. 727-128.